Dalam kesusastraan Bugis dikenal beberapa jenis genre
sastra yaitu Lagaligo (mitos), Pau-Pau (legenda), Toloq (sastra sejarah), Elong,
Pau-pau rikadong (dongeng pelipur lara). Pau-pau atau legenda mengandung
pengertian cerita rakyat yang menceritakan tentang suatu tokoh atau asal mula
suatu daerah yang dipercayai oleh masyarakat tertentu pernah terjadi.
Pada kesempatan ini, saya ingin menceritakan cerita legenda
tentang satu perkampungan di Kabupaten Sinjai yang sebelumnya diyakini adalah
sebuah gunung yang tinggi. Konon masyarakat Bulu Tana (nama kampung tersebut
yang diambil dari nama gunung yang ada di daerah itu) meyakini bahwa gunung
tersebut sama tingginya dengan Gunung Bawakaraeng (yang terletak di gowa).
Saat ini, gunung tersebut masih dapat dijumpai namun
bentuknya sudah sangat kecil. Gunung itu terletak di kelurahan Alehanua,
Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai. Menurut penduduk asli, bahwa dari
cerita turun temurun yang akhirnya sampai pada generasi sekarang, dikatakan
bahwa gunung Bulu Tana sebenarnya ada dua
pasang. Satu terletak di Sinjai yakni di kelurahan Alehanuae yang dijaga oleh
seekor ular jantan dan satunya lagi terdapat di Kabupaten Bone dengan nama yang
sama yaitu Bulu Tana yang di jaga oleh seekor ular betina, katanya kedua
penjaga gunung ini adalah pasangan suami istri. Sekilas cerita bahwa gunung ini
berpasangan terkadang masuk akal juga kalau dilihat dari ciri tanahnya yang
sama-sama menyerupai tanah liat, dimana pada musim hujan tanahnya akan mudah
lengket pada alas kaki.
Mengenai penjaga gunung Bulu Tana yang dipercayai seekor
ular, bentuknya besar tapi tanpa ekor. Menurut kesaksian orang yang pernah
melihatnya, ular tersebut menyerupai Drum tempat aspal cair, hanya ada kepala
dan badan tanpa ekor. Menurut Akmal, seorang pendatang yang pernah tinggal di
kampung tersebut, ia sempat melihat sekilas, lewat dengan cepat disampingnya,
sampai ia merasakan angin menerpanya. Dan setelah kejadian tersebut ia
mengalami sakit yang cukup parah. Menurut orang-orang yang mengetahui kejadian
tersebut mengatakan, “untung anginnyaji kennaki, kalau sempat di tabrak, nyawa
akmal tidak bakalan tertolong” (untung tidak ditabrak, seandainya ditabrak,
nyawanya pasti tak tertolong).
Sedangkan cerita mengenai ambruknya (longsornya) gunung
Bulu Tana hingga akhirnya menjadi gunung yang kecil, menurut cerita masyarakat
setempat menceritakan;
Pada suatu hari penjaga Gunung Bulu Tana mengunjungi
pasangannya di yang juga penjaga Gunung Bulu Tana di daerah seberang yang
terletak di Kabupaten Bone. Penjaga Gunung Bawakaraeng yang selama ini iri melihat Gunung Bulu Tana
yang menyaingi ketinggiannya, karena konon katanya kedua penjaga gunung
tersebut sering terlibat percekcokan karena ketinggian yang masing-masing
mengklaim bahwa gunungnyalah yang paling tinggi. Melihat penjaga gunung Bulu Tana
pergi, penjaga gunung Bawakaraeng berinisiatif melaksanakan rencananya untuk
menghancurkan gunung Bulu tana agar tidak ada lagi yang menyaingi
ketinggiannya. Berangkatlah penjaga gunung Bawakaraeng ini ke Bulu Tana dan
menendang puncak Gunung Bulu Tana hingga longsor dan menjadi gunung yang
bentuknya sangat kecil. Akibat dari longsornya pegunungan ini terbentuklah
ladang-ladang dan pemukiman yang sekarang di huni oleh masyarakat setempat.
Masyarakat membuktikan bahwa disekitar gunung, baik diladang dan pemukiman tersebut banyak dijumpai batu-batu baik yang
kecil maupun besar yang katanya berserakan akibat longsornya gunung tersebut.
Sementara penjaga Gunung Bulu Tanah yang mengetahui
hancurnya gunung yang selama ini dijaganya kecewa, dan mengalami kesedihan
akibat kegagalannya menjaga rumah tempat ia bersemayam. Ia akhirnya memutuskan
meninggalkan gunung tersebut dan menetap dipegunungan Bulu Tana yang dijaga
oleh pasangannya. Ia hanya sesekali mengunjungi bekas Gunung yang pernah dijaganya. Demikianlah cerita tentang Legenda Gunung Bulu Tana yang
terletak di kabupaten Sinjai.