Senin, 01 Desember 2014

Legenda Gunung Bulu Tana di Sinjai

Dalam kesusastraan Bugis dikenal beberapa jenis genre sastra yaitu Lagaligo (mitos), Pau-Pau (legenda), Toloq (sastra sejarah), Elong, Pau-pau rikadong (dongeng pelipur lara). Pau-pau atau legenda mengandung pengertian cerita rakyat yang menceritakan tentang suatu tokoh atau asal mula suatu daerah yang dipercayai oleh masyarakat tertentu pernah terjadi.
Pada kesempatan ini, saya ingin menceritakan cerita legenda tentang satu perkampungan di Kabupaten Sinjai yang sebelumnya diyakini adalah sebuah gunung yang tinggi. Konon masyarakat Bulu Tana (nama kampung tersebut yang diambil dari nama gunung yang ada di daerah itu) meyakini bahwa gunung tersebut sama tingginya dengan Gunung Bawakaraeng (yang terletak di gowa).  
Saat ini, gunung tersebut masih dapat dijumpai namun bentuknya sudah sangat kecil. Gunung itu terletak di kelurahan Alehanua, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai. Menurut penduduk asli, bahwa dari cerita turun temurun yang akhirnya sampai pada generasi sekarang, dikatakan bahwa gunung Bulu Tana  sebenarnya ada dua pasang. Satu terletak di Sinjai yakni di kelurahan Alehanuae yang dijaga oleh seekor ular jantan dan satunya lagi terdapat di Kabupaten Bone dengan nama yang sama yaitu Bulu Tana yang di jaga oleh seekor ular betina, katanya kedua penjaga gunung ini adalah pasangan suami istri. Sekilas cerita bahwa gunung ini berpasangan terkadang masuk akal juga kalau dilihat dari ciri tanahnya yang sama-sama menyerupai tanah liat, dimana pada musim hujan tanahnya akan mudah lengket pada alas kaki.
Mengenai penjaga gunung Bulu Tana yang dipercayai seekor ular, bentuknya besar tapi tanpa ekor. Menurut kesaksian orang yang pernah melihatnya, ular tersebut menyerupai Drum tempat aspal cair, hanya ada kepala dan badan tanpa ekor. Menurut Akmal, seorang pendatang yang pernah tinggal di kampung tersebut, ia sempat melihat sekilas, lewat dengan cepat disampingnya, sampai ia merasakan angin menerpanya. Dan setelah kejadian tersebut ia mengalami sakit yang cukup parah. Menurut orang-orang yang mengetahui kejadian tersebut mengatakan, “untung anginnyaji kennaki, kalau sempat di tabrak, nyawa akmal tidak bakalan tertolong” (untung tidak ditabrak, seandainya ditabrak, nyawanya pasti tak tertolong).
Sedangkan cerita mengenai ambruknya (longsornya) gunung Bulu Tana hingga akhirnya menjadi gunung yang kecil, menurut cerita masyarakat setempat menceritakan;
Pada suatu hari penjaga Gunung Bulu Tana mengunjungi pasangannya di yang juga penjaga Gunung Bulu Tana di daerah seberang yang terletak di Kabupaten Bone. Penjaga Gunung Bawakaraeng  yang selama ini iri melihat Gunung Bulu Tana yang menyaingi ketinggiannya, karena konon katanya kedua penjaga gunung tersebut sering terlibat percekcokan karena ketinggian yang masing-masing mengklaim bahwa gunungnyalah yang paling tinggi. Melihat penjaga gunung Bulu Tana pergi, penjaga gunung Bawakaraeng berinisiatif melaksanakan rencananya untuk menghancurkan gunung Bulu tana agar tidak ada lagi yang menyaingi ketinggiannya. Berangkatlah penjaga gunung Bawakaraeng ini ke Bulu Tana dan menendang puncak Gunung Bulu Tana hingga longsor dan menjadi gunung yang bentuknya sangat kecil. Akibat dari longsornya pegunungan ini terbentuklah ladang-ladang dan pemukiman yang sekarang di huni oleh masyarakat setempat. Masyarakat membuktikan bahwa disekitar gunung, baik diladang dan pemukiman  tersebut banyak dijumpai batu-batu baik yang kecil maupun besar yang katanya berserakan akibat longsornya gunung tersebut.
Sementara penjaga Gunung Bulu Tanah yang mengetahui hancurnya gunung yang selama ini dijaganya kecewa, dan mengalami kesedihan akibat kegagalannya menjaga rumah tempat ia bersemayam. Ia akhirnya memutuskan meninggalkan gunung tersebut dan menetap dipegunungan Bulu Tana yang dijaga oleh pasangannya. Ia hanya sesekali mengunjungi bekas Gunung yang pernah dijaganya. Demikianlah cerita tentang Legenda Gunung Bulu Tana yang terletak di kabupaten Sinjai.