Minggu, 26 Februari 2017

Naskah Drama Sang Mandor



SANG MANDOR
RAHMAN ARGE

Tokoh : 
               Dg. Gassing (Sang Mandor)
               Mulli (Istri Sang Mandor)
               Juki                (Anak I)
               Poke             (Anak II)
               Uduk             (Anak III)
               Rimba           (Body Guard)

Tempat: Rumah Sang Mandor

Sang Mandor  : (MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK, MENGGUMAM)
                          “Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku cuma di sini”.
                            (TERDENGAR PELUIT KAPAL)
                            “Inikah akhir riwayatku? Sebagai mandor? Sebagai ayah? Sebagai suami? Sebagai laki-laki? Sebagai… manusia”
                            (BATUK-BATUK. IA BERUSAHA MELAWAN REMATIKNYA. IA MERANGKAK, MENCOBA BERGERAK KE JENDELA. MEMANDANG KELUAR. MASUK MULLI).
Mulli               : (MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI MEJA)
                          “Pak, saatnya minum obat. Hari sudah sore. Jangan dekat-dekat jendela. Di situ banyak angin. Astaga, bagaimana kau bisa sampai disitu?”
Sang Mandor   : ”Berapa kali dalam sehari semalam aku harus mendengar kata-kata itu?  Jangan!  Jangan!  Jangan ini!  Jangan itu!        
Mulli                : “Di situ banyak angin, Pak
Sang Mandor    :         “Kayak anak balita saja. Dituntun-tuntun”
Mulli                  :         “Obatnya, Pak”
Sang Mandor    :         (BERTERIAK) “ Ya”
Mulli                  :         “Sekarang”
Sang Mandor    :         “Iya”
Mulli                  :         “Minum sekarang!”
Sang Mandor    :         “Iya,  Iya,  Iya!”
            Mulli                  :         “Obatnya saya bawqa ke situ, atau Bapak yang saya bawa ke                                 sini?”
            Sang Mandor     :        (DIAM.  MATANYA MENYALA. BATUK-BATUK) “Inikah           akhir?”
Mulli                 :          (MENDEKATI MANDOR. MENCOBA MEMBANTUNYA           KE KURSI) “Ayolah, Pak. Saya bantu”
Sang Mandor    :         (MELEDAK) “ Jauh kau perempuan! Jangan mendekat. Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak sendiri. (MENCOBA BERGERAK KE KURSI TAPI SANGAT PAYAH) “lautan luas aku jelajahi. (IA TERJATUH. SUSAH PAYAH IA BANGKIT) “ aku kenal kapal-kapal. Begitu banyak kapal”….(IA KERINGATAN. IA BATUK-BATUK) “Aku akrab dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu banyak pelabuhan”. (IA MNGERANG. REMATIKNYA NGAMUK) “Aku bersahabat dengan begitu banyak bangsa. Laki-laki… Perempuan…(TUBUHNYA TERHEMPAS KE LANTAI)
Mulli                  :         (MELOMPAT UNTUK MENOLONG TAPI SEGERA UNDUR KARENA MENDENGAR TERIAKAN SANG MANDOR)
Sang Mandor    :         “jangan dekat! Jangan!” (DENGAN TENAGA TERAKHIR IA BANGKIT. IA MENATAP KE KURSI DENGAN MATA YANG MENYALA) “ Telah kuarungi laut sampai Cape Town. Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan mencium lututku. Lalu… lalu hanya untuk sampai ke kursi aku harus kalah, ha…?” (IA ROBOH)
Mulli                  :         (BERGEGAS AKAN MENOLONG) “ Semua tak ada yang langgeng, Pak. Sadarlah. Tak ada orang yang bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain. Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siappun dia, masing-masing berangkat tua, sakit-sakit, kesepian…”

Sang Mandor    :         “Siapa bilang aku kesepian”
Mulli                  :         “Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada”
Sang Mandor    :         “Aku tidak keespian bukan karena kau ada, perempuan! Kau ada atau tudak ada, aku tidak kespian. Aku bisa mengurus dirikun sendiri tanpa siapa-siapa…”
Mulli                  :         (BANGKIT MENAHAN EMOSI) “ Ayo, laki-laki! Hiduplah sendiri! Uruslah dirimu! Raih kursi itu! Letaknya hanya beberapa meter. Capailah! Ayo capailah, Tuan Mandor Besar”
Sang Mandor    :         “Diam!  diam!  diam!”
Mulli                  :         “Aku takkan diam! Sepanjang hidupkun takperenah tidak kau koyak-koyak hatiku. Sejak dulu. Sampai kini  (MERATAP PEDIH) “kehadiranku di sampingmu tak pernah kau anggap. Tak pernah kau hargai. Bagimu, aku ternyata tak pernah ada. Tak pernah kau hitung bahwa aku juga manusia” ( MELEDAK LAGI) “ ayo! Merangkaklah! Merangkaklah kau seorang diri ke kursi itu! Rebut kursi itu! Rebut! Rebut! Rebut kursi itu dengan keangkuhanmu! (KEPEDIHAN BERCAMPUR KEJENGKELAN) “ Begitu banyak pelabuhan. Begitu banyak negeri. Begitu banyak perempuan. Nah! Mana? Mana? Mana semua itu, Tuan Mandor?
Juki                    :         (MASUK TERGESA-GESA MENUJU RUANG TENGAH. MENENANGKAN KEDUA ORANG TUANYA) “Saya tidak mengerti sampai kapan ayah dan ibu bisa rukun?  Sampi kapan hari tua kalian dibiarkan begini terus? kapan bisa menikmati ketenangan? Rasa tenteram? Kebahagiaan? Kedamaian?
Sang Mandor    :         “sampai kapan, kau anak kecil, bisa berhenti berkhotnah di hadapan saya?”
Juki                    :         Kerukunan? Keseiasekataan?
Sang Mandor    :         “ Khotbah. Hentikan.”
Juki                    :         (MENINGKAT) “Kasih sayang? Hormat-menghormatai? Harga-menghargai?”
Sang Mandor    :         “Hentikan”
Juki                    :         “Tepo Seliro”
Sang Mandor    :         “Stop. Kataku!
Juki                    :         “Cinta-mencintai”
Sang Mandor    :         “Berhentiiiiiii!” (BATU-BATUK. AMAT MARAH. DIAM)
Mulli                  :         (MENCOBA MENOLONG SUAMINYA) “ Dengan meledak-ledak begini nafasmu bisa habis. Apa yang dikatakan anakmu, Juki, memang benar. Kita hampir-hampir tak punya waktu untukmerasakan nikmat yang diberikan Tuhan. Sadarlah. Sadar…”
Sang Mandor    :         Ahh…! Aku tahu apa yang tersembunyi dibalik nasihat-nasihat Juki. Kapan dia datang berkhotbah pasti ada apa-apanya pasti. Ada maunya…”
Mulli                  :         (MENATAP LEMBUT ANAKNYA) “ Betulkah itu, Juki?”
Juki                    :         (DIAM SEJENAK) “Iya. Iya, Bu.”
Sang Mandor    :         “Dan pasti, bagiku, itu kabar buruk.”
Mulli                  :         “Apa itu, Juki”
Juki                    :         “Saya. Saya habis kawin,Bu”
Mulli                  :         “Astagfirullah”
Juki                    :         “Sempurnalah, Bagiku sebagai laki-laki”
Sang mandor     :         “Artinya, ini istrimu yang keempat Toch?”
Juki                    :         “Eampat sempurna, Pak. Saya sekedar mengulangi riwayat Bapak”
Sang Mandor    :         “Setaaaaaan”
Juki                    :         “Maaf, Pak; satu perahu Bapak terpaksa saya jual untuk ongkos kawin dan kontrak rumah”
Sang Mandor    :         (ROBOH. PINGSAN)
MULLI             :         “Tolong…Tolong…Tolong…
                                    (MASUK POKE, UDUK, RIMBA. MEREKA RAMAI-RAMAI MAU MEMBANTU SANG MANDOR DARI PINGSANNYA, TAPI SEBELUM MEREKA MENYENTUH TUBUH SANG MANDOR, SANG MANDOR BANGUN)
Poke                  :         “Ini saya, Pak. Saya Poke. Anak Bapak”
Uduk                 :         “dan saya Uduk. Kami siap membantu Bapak. Kapan saja, dam di mana saja. Saya anak ketiga”
Rimba                :         “Saya Rrrrimba. Orang kepercayaan Daeng untuk mendampingi Uduk. Juga kapan dan di mana saja”
Sang Mandor    :         “Kenapa saya”
Juki                    : `       “Bapak tadi pingsan”
Poke                  :         “Ramai-ramai kami mau menolong Bapak, tapi baru kami mendekat , Bapak sudah keburu sadar dan bangun”
Uduk                 :         “Seandainya Bapak masih pingsan, tentu kami sudah bergotong royong membantu Bapak ke pembaringan dan….
Poke                  :         (MEMOTONG) “Dan merasakan betapa hangatnya kasih sayang kami, anak-anak Bapak imni, kepada orang tuanya”
Rimba                :         “Dan seakalipun saya Rrrimba hanya orang kepercayaan Daeng, tak kurang kasih sayang saya kepada Daeng. Hmm… saya boleh dibilang , ya, sudah keluarga jugalah begitu”
Sang Mandor    :         (BATUK-BATUK) “Betulkah tadi saya pingsan?”
Semua               :         (BEREBUTAN) “Betul, betul, brtul, Pak”
Sang Mandor    :         “Lalu saya tiba-tiba sadar, terbangun ketika kalian mau m,enolong?”
Semua               :         “Betul, betul, betul, Pak”
Sang Mandor    :         (MENATAP SATU-SATU) “Tahukah kalian pertanda apa itu?”
Semua               :         “tid,..tidak…tidak,Pak
Sang Mandor    :         “nah, itu pertanda, dalam pingsan aku harus bisa mandiri”
Poke                  :         “ Tapi, maaf Pak sekarangkan sudah sore mengapa bapak duduk di lantai”
Uduk                 :         “ya, mengapa bukan di kursi?”
Rimba                :         “Atau di ranjang”
Juki                    :         (MENATAP YANG LAIN) “Ayo, hari sudah hampir gelap mari kita ramai-ramai menolong Bapak ke kursi”
Samng Mandor :         (BERTERIAK) “Jangaaaan” (SEMUA BINGUNG DITATAP SANG MANDOR. SANGAT LEMBUT) “Uduk, bagaimana dengan rencanamu yang perbah kau bilang? Jadi kau berlayar? Menjadikelasi dan berjuang sampai kau bisa menjadi mandor?”
Uduk                 :         (SERIUS) “Ya. Seperti Bapak. Sayalah yang bersedia menggantikan Bapak, mengukir riwayat besar di lautan, seperti Bapak”
Rimba                :         “Dan sebagai orang kepercayaan Daeng, saya, Rrrimba, akan ikut Uduk, mempertaruhkan nasib bersama, sehidup-semati”
Uduk                 :         “inilah anak laki-laki tubarani, titian darah sang penakluk laut, yang tak pernah gentar sampai sekarang. Jika layar sudfah terkembangn lebih bik mati daripada kembbali ke pantai”
Rimba                            :         “Dan sebagai orang kepercayaan Daeng, saya Rrrimba yang ditugaskan menjadi pa’lapa’ barambang bagi keselamatan Uduk…” (MNEDEKATI MANDOR) “Saya selalu memompakan ke dalam diri Uduk, jurus eja tompi seng na doing! Pukul dulu baru piker”
Uduk                 :         (GERAK-GERIK ANGNGARUK) “ dan atas nama jurus eja tompi seng na doang, atas nama prinsip pukul dulu baru piker, aku Uduk, putera ketiga sang penakluk laut, yang namanya melampaui luas dan dalamnya lautan,dengan ini berjanji, akan melestarikan nama dan kebesaran ayahanda”
Rimba                :         “Dan saya Rrrim….”
Sang Mandor    :         “berhentiiiii!” (SEMUA JADI PATUNG) “kata-kata! Selautan kata-kata. Kepalaku bengkak, perutku buncitk, tubuhkurasanya akan meledak oleh kata-kata kalian! Mulai dari anak pertama Juki, banyaknya kata-katanya, tapi buntutnya itu …aku jadi pingsan dibuatnya.
Uduk                 :         (MENDEKATI SANG MANDOR) “Keterlaluan Juki. Dialah penyebab pingsannya bapak”
Poke                  :         “ya, betul-betul keterlaluan. Jadi dilah penyebab pingsannya Bapak?”
Juki                    :         “Hoe, jangan ikut campur! Itu urusan kami berdua!”
uduk                  :         “saya huga aanaknya. Saya wajib membela ayah saya. Saya                                                                   tidak mau beliau cedera! Apalagi pingsan”
poke                  :         “jadi kau, Juki; kau yang menjadi sebab ayah tadi pingsan? Sampai hati kau. Kita, ya, terutama aku, aku yang eslalu berusaha keras menjaga ayah, tahu-tahu kecolongan orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hatu kau!” (MENGAYUNKAN TINJU KE WAJAH JUKI)
Uduk                 :         (MELOMPAT DI ANTARA KEDUANYA DENGAN SIKAP SIAP TEMPUR) “Poke, ini tugas saya. Sayalah yang lebih pantas membelah ayah, membalas sakit hatio ayah karena telah dibuat pingsan oleh anaknya sendiri, oleh Juli…”  (KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKJUL DAMN DI PUKUL, TERKAM-MENERKAM, BERGULING-F\GULING)
Mulli                  :         (PANIK, MENANGIS, MENJERI-JERIT) “Sudah, anak-anakku, sudah…sudah…nak…!”
Sang Mandor    :         (MENJERIT)”berhenti…berhenti…”
Rimba                :         (MEMATUNG Melongo)
Sang Mandor    :         “Rimba kenapa diam seperti tiang kapal di situ? Buktikan bajhwa kamu tidak Cuma jago berkata-kata! Buktikan! Bultikan! Pisahkan mereka…pisahkan!”
Rimaba              :         (PUCAT, TERSIPU-SIPU) “ma… maaf… maaf, Daeng. Ini tidak temasuk dlam jurtus persilatan saya”
Sang Mandor    :         “Settttan Kau!  Berhentiiiii!” (ORANG-ORAMH YANG BERGULING ITU SPONTAN BERHENTI. MEREKA TERPAKU HERAN MELIHAT SANG MANDOR BERDIRI TEGAK DI ATAS LANTAI, SEAKAN TERIAKANNYA ITU MEMBUAT LARI PENYAKIT LUMPUHNYA)
Mulli                  :         (TERHARU, GEMBIRA KARENA MELIHAT SANG MANDOR TEGAK)  “Daeng, daengku, engkau mampu mengatasi lumpuhmu. Aku, aku merasakan tubuhku tagak berdiri di pelabuhan, ditepi dermaga, melambaikan sapu tangan ketika kapalmu bertolak… aku memandang tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku”  (MENDELKATI SANG MANDOR) “aku ingin seklai menyentuhmu, Daeng….”
Sang Manador   :         “Jangan mendekat…”  (MENATAP ANAK-ANAKNYA)  “sudah kukatakan, bahwa dalampingsanpun aku hars bisa mandiri. Apalagi kini. Rasanya aku segar sekali. (MENATAP UDUK)  “nah, Uduk katakanlah keinginanmu. Langsung, tanpa bunga-bunga kata. Tanpa pengakuan-pengakuan besar. Bahakan tanpa pergumulan…. Ayo, Uduk!”
Uduk                 :         (BINGUNG TETAPI MENEMUKAN KEBERANIANNYA)  “Berka ajaran Ayah,sayapu akan segera melaksanakan rencanaku menjadi mandor pelaut. Tentu mulai dari bawah, sebagai kelasi”
Sang Mandor    :         “Bagus”
Uduk                 :         “Karena itu. Sebagai bekal, satu dari dua perahu ayah… talah…”
Sang Mandor    :         “Kau jual toch?!”
Uduk                 :         “Iya, ayah; dan…”
Sang Mandor    :         “Cukup! Mestinya inilah pingsanku yang kedua. Terbanglah semua perahuku!” (MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA. DIA BERGHASIL, MASIH BERDIRI TEGAK)  “Juki, Uduk; perkelahian kalian untuk membela ayah, ternyata buntutnya memukul ayah juga. Perahu saya cuma dua. Dua-duanya melayang..”
Poke                  :         “Ayah, tapi Ayah jangan terlalu bersedih sebab saya telah membeli perahu untuk Ayah”
Sang Mandor    :         (MEMANDANG TAKJUB KEPADA POKE)  “Ternyata putera keduaku, satu-satunya bibit paling unggul. Tapi… bagaimana caranya sampai kau bisa membeli perahu, Poke?”
Poke                  :         “Ya, sebagai orang dagang, saya ini harus pintar-pintar dan lihai meindah-mindahkan barang. Supaya uintung”
Sang Mandor    :         “Artinya”
Poke                  :         “sya harus ada modal beli barang dagangan. Maka sawa, empang milok ayah, maaf, sudah saya jual”
Sang Mandor    :         (BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA)  “Mestinya in ilah pingsanku yang kedua tambah setengah. Mulanya perahu. Kini sawah… empang… terus…?”
Poke                  :         “ya, begitulah ayah. Saya ini… saya ini kan pedagang…”
Sag Mandor      :         “ya, ya, saya tahu. Lalu…?”
Poke                  :         “ya, begitulah pedahang, ayah. Ada saat untung, ada saat rugi”
Sang Mandor    :         “Lalu…?”
Poke                  :         “Ayah tidak baca di Koran tentang badai yang menenggelamkan perahu pinisi yang perkasa di Masalembo?”
Sang Mandor    :         “Maksudmu?”
Poke                  :         “Perahu danseluruh barang dagaangannya milil saya itulah syang diberitaakan di koran-koran…”
Sang Mandor    :         (TUBUH SANG MANDOR TERLONCAT SETENGAH METER KE ATAA DARI LANTAI. TERIAKAN YANG BERKALI-KALI LIPATNYA KERASNYA DARI TERIAKAN TADI  MEMBUAT SPONTAN MELONCAT KE KURSI)  “Habiiis… habiiis…habiiis…”  (SANG MANDOR TERDUDUK DI KURSI. MENGATUR NAFAS)  “habis sudah semuanya”  (SUASANA HENING BEBERAPA LAMA. SEMUA YANG DI DEPAN SANG MANDOR BERJONGKOK SAMBIL MEMANDANGI LANTAI. KECUT)  “Juki, Poke,Uduk, dan kau Rimba…Pergilah kalian. Cari dan temukan jalan kalian masing-masing”  (SEMUA BERDIRI, TUNDUK, BERGERAK PELAN MENUJU PINTU)  “Kalian… tunggu!”  (DIAM SEJENAK)  “ Ah, sudahlah. Kaliam aku maafkan. Ya, ya. Salah aku juga. Aku adalah ayah yang lerlampau bangga terhadap riwayat besar masa lalu, tanpa pernah berupaya buat memahami jiwa anal-anak sendiri.  (DIAM LAGI)  “Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali satu kalimat; jangan lagi menadahkan tangan… kecuali kepada Tuhan…”
                          (JUKI, POKE, UDUK, RIMBA, PERGI MENINGGALKAN SANG MANDOR. SANG MANDOR MENATAP LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERTUNDUK DI LANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH.
                          “Mulli, bangkitlah engkau… dan lihat, aku telah di sini… di kursi ini”
Mulli                  :         (MENGANGKAT KEPALA. IA MERASA SEPERTI TERBANG MELIHAT SUAMINYA BERHASIL MEREBUT  DAN MENDUDUKI KURSINYA)
                          “Daeng Gassing, suamiku…egkau berhasil merebut kursimu da mendudukinya. Engkau berhasil. Ya, Tuhan…”
                          (MEMELUK SUAMINYA)  “Engakau telah merebut kembali laaut-lautmu, pelabuhan-pelabuhanmu, kapal-kapalmu, pengembaraanmu…”
sang Mandor     :         “Ya, dalam diri engkau… dalam diri anak-anakku…”  (MEMANDANG KE ATAS SAMBIL MENGELUS RAMBUT ISTRINYA, IA SEPERTI BERBISIK KEPADA SESUATU DI ATAS  SANA)
                          “Tuhan…   Terima kasih”

SEKIAN