SANG MANDOR
RAHMAN
ARGE
Tokoh :
Dg. Gassing (Sang Mandor)
Mulli (Istri Sang Mandor)
Juki (Anak
I)
Poke (Anak II)
Uduk (Anak
III)
Rimba (Body Guard)
Tempat: Rumah
Sang Mandor
Sang Mandor : (MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK, MENGGUMAM)
“Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku cuma
di sini”.
(TERDENGAR
PELUIT KAPAL)
“Inikah
akhir riwayatku? Sebagai mandor? Sebagai ayah? Sebagai suami? Sebagai
laki-laki? Sebagai… manusia”
(BATUK-BATUK.
IA BERUSAHA MELAWAN REMATIKNYA. IA MERANGKAK, MENCOBA BERGERAK KE JENDELA.
MEMANDANG KELUAR. MASUK MULLI).
Mulli
: (MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI MEJA)
“Pak,
saatnya minum obat. Hari sudah sore. Jangan dekat-dekat jendela. Di situ banyak
angin. Astaga, bagaimana kau bisa sampai disitu?”
Sang Mandor :
”Berapa kali dalam sehari semalam aku harus mendengar kata-kata itu? Jangan!
Jangan! Jangan ini! Jangan itu!
Mulli
: “Di situ banyak angin, Pak
Sang Mandor : “Kayak anak balita saja.
Dituntun-tuntun”
Mulli : “Obatnya, Pak”
Sang Mandor : (BERTERIAK) “ Ya”
Mulli : “Sekarang”
Sang Mandor : “Iya”
Mulli : “Minum sekarang!”
Sang Mandor : “Iya,
Iya, Iya!”
Mulli : “Obatnya saya bawqa ke situ, atau Bapak
yang saya bawa ke
sini?”
Sang Mandor : (DIAM.
MATANYA MENYALA. BATUK-BATUK) “Inikah
akhir?”
Mulli
: (MENDEKATI MANDOR.
MENCOBA MEMBANTUNYA
KE KURSI) “Ayolah,
Pak. Saya bantu”
Sang Mandor : (MELEDAK) “ Jauh kau perempuan! Jangan
mendekat. Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak sendiri. (MENCOBA
BERGERAK KE KURSI TAPI SANGAT PAYAH) “lautan luas aku jelajahi. (IA TERJATUH.
SUSAH PAYAH IA BANGKIT) “ aku kenal kapal-kapal. Begitu banyak kapal”….(IA
KERINGATAN. IA BATUK-BATUK) “Aku akrab dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu
banyak pelabuhan”. (IA MNGERANG. REMATIKNYA NGAMUK) “Aku bersahabat dengan
begitu banyak bangsa. Laki-laki… Perempuan…(TUBUHNYA TERHEMPAS KE LANTAI)
Mulli : (MELOMPAT UNTUK MENOLONG TAPI SEGERA
UNDUR KARENA MENDENGAR TERIAKAN SANG MANDOR)
Sang Mandor : “jangan dekat! Jangan!” (DENGAN TENAGA
TERAKHIR IA BANGKIT. IA MENATAP KE KURSI DENGAN MATA YANG MENYALA) “ Telah
kuarungi laut sampai Cape Town.
Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan
mencium lututku. Lalu… lalu hanya untuk sampai ke kursi aku harus kalah, ha…?”
(IA ROBOH)
Mulli : (BERGEGAS AKAN MENOLONG) “ Semua tak ada yang langgeng, Pak.
Sadarlah. Tak ada orang yang bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain. Lebih-lebih
disaat kita sakit. Orang-orang. Siappun dia, masing-masing berangkat tua,
sakit-sakit, kesepian…”
Sang Mandor : “Siapa bilang aku kesepian”
Mulli : “Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada”
Sang Mandor : “Aku tidak keespian bukan karena kau
ada, perempuan! Kau ada atau tudak ada, aku tidak kespian. Aku bisa mengurus
dirikun sendiri tanpa siapa-siapa…”
Mulli : (BANGKIT MENAHAN EMOSI) “ Ayo,
laki-laki! Hiduplah sendiri! Uruslah dirimu! Raih kursi itu! Letaknya hanya
beberapa meter. Capailah! Ayo capailah, Tuan Mandor Besar”
Sang Mandor : “Diam!
diam! diam!”
Mulli : “Aku takkan diam! Sepanjang hidupkun
takperenah tidak kau koyak-koyak hatiku. Sejak dulu. Sampai kini (MERATAP PEDIH) “kehadiranku di sampingmu tak
pernah kau anggap. Tak pernah kau hargai. Bagimu, aku ternyata tak pernah ada.
Tak pernah kau hitung bahwa aku juga manusia” ( MELEDAK LAGI) “ ayo!
Merangkaklah! Merangkaklah kau seorang diri ke kursi itu! Rebut kursi itu!
Rebut! Rebut! Rebut kursi itu dengan keangkuhanmu! (KEPEDIHAN BERCAMPUR
KEJENGKELAN) “ Begitu banyak pelabuhan. Begitu banyak negeri. Begitu banyak
perempuan. Nah! Mana? Mana? Mana semua itu, Tuan Mandor?
Juki : (MASUK TERGESA-GESA MENUJU RUANG TENGAH. MENENANGKAN KEDUA
ORANG TUANYA) “Saya tidak mengerti sampai kapan ayah dan ibu bisa rukun? Sampi kapan hari tua kalian dibiarkan begini
terus? kapan bisa menikmati ketenangan? Rasa tenteram? Kebahagiaan? Kedamaian?
Sang Mandor : “sampai kapan, kau anak kecil, bisa
berhenti berkhotnah di hadapan saya?”
Juki : Kerukunan? Keseiasekataan?
Sang Mandor : “ Khotbah. Hentikan.”
Juki : (MENINGKAT) “Kasih sayang?
Hormat-menghormatai? Harga-menghargai?”
Sang Mandor : “Hentikan”
Juki :
“Tepo Seliro”
Sang Mandor : “Stop. Kataku!
Juki : “Cinta-mencintai”
Sang Mandor : “Berhentiiiiiii!” (BATU-BATUK. AMAT
MARAH. DIAM)
Mulli : (MENCOBA MENOLONG SUAMINYA) “ Dengan
meledak-ledak begini nafasmu bisa habis. Apa yang dikatakan anakmu, Juki,
memang benar. Kita hampir-hampir tak punya waktu untukmerasakan nikmat yang
diberikan Tuhan. Sadarlah. Sadar…”
Sang Mandor : Ahh…! Aku tahu apa yang tersembunyi
dibalik nasihat-nasihat Juki. Kapan dia datang berkhotbah pasti ada apa-apanya
pasti. Ada
maunya…”
Mulli : (MENATAP LEMBUT ANAKNYA) “ Betulkah
itu, Juki?”
Juki : (DIAM SEJENAK) “Iya. Iya, Bu.”
Sang Mandor :
“Dan pasti, bagiku, itu kabar
buruk.”
Mulli : “Apa itu, Juki”
Juki :
“Saya. Saya habis kawin,Bu”
Mulli :
“Astagfirullah”
Juki : “Sempurnalah, Bagiku sebagai laki-laki”
Sang mandor : “Artinya, ini istrimu yang keempat
Toch?”
Juki : “Eampat sempurna, Pak. Saya sekedar
mengulangi riwayat Bapak”
Sang Mandor : “Setaaaaaan”
Juki : “Maaf, Pak; satu perahu Bapak terpaksa
saya jual untuk ongkos kawin dan kontrak rumah”
Sang Mandor : (ROBOH. PINGSAN)
MULLI : “Tolong…Tolong…Tolong…
(MASUK
POKE, UDUK, RIMBA. MEREKA RAMAI-RAMAI MAU MEMBANTU SANG MANDOR DARI PINGSANNYA,
TAPI SEBELUM MEREKA MENYENTUH TUBUH SANG MANDOR, SANG MANDOR BANGUN)
Poke : “Ini saya, Pak. Saya Poke. Anak Bapak”
Uduk : “dan saya Uduk. Kami siap membantu
Bapak. Kapan saja, dam di mana saja. Saya anak ketiga”
Rimba : “Saya Rrrrimba. Orang kepercayaan Daeng
untuk mendampingi Uduk. Juga kapan dan di mana saja”
Sang Mandor : “Kenapa saya”
Juki :
` “Bapak tadi pingsan”
Poke : “Ramai-ramai kami mau menolong Bapak,
tapi baru kami mendekat , Bapak sudah keburu sadar dan bangun”
Uduk : “Seandainya Bapak masih pingsan, tentu
kami sudah bergotong royong membantu Bapak ke pembaringan dan….
Poke : (MEMOTONG) “Dan merasakan betapa
hangatnya kasih sayang kami, anak-anak Bapak imni, kepada orang tuanya”
Rimba : “Dan seakalipun saya Rrrimba hanya orang kepercayaan Daeng,
tak kurang kasih sayang saya kepada Daeng. Hmm… saya boleh dibilang , ya, sudah
keluarga jugalah begitu”
Sang Mandor : (BATUK-BATUK) “Betulkah tadi saya
pingsan?”
Semua : (BEREBUTAN) “Betul, betul, brtul, Pak”
Sang Mandor : “Lalu saya tiba-tiba sadar, terbangun
ketika kalian mau m,enolong?”
Semua : “Betul, betul, betul, Pak”
Sang Mandor : (MENATAP SATU-SATU) “Tahukah kalian
pertanda apa itu?”
Semua : “tid,..tidak…tidak,Pak
Sang Mandor : “nah, itu pertanda, dalam pingsan aku
harus bisa mandiri”
Poke : “ Tapi, maaf Pak sekarangkan sudah sore
mengapa bapak duduk di lantai”
Uduk : “ya, mengapa bukan di kursi?”
Rimba : “Atau di ranjang”
Juki : (MENATAP YANG LAIN) “Ayo, hari sudah
hampir gelap mari kita ramai-ramai menolong Bapak ke kursi”
Samng Mandor : (BERTERIAK) “Jangaaaan” (SEMUA BINGUNG
DITATAP SANG MANDOR. SANGAT LEMBUT) “Uduk, bagaimana dengan rencanamu yang
perbah kau bilang? Jadi kau berlayar? Menjadikelasi dan berjuang sampai kau
bisa menjadi mandor?”
Uduk : (SERIUS) “Ya. Seperti Bapak. Sayalah
yang bersedia menggantikan Bapak, mengukir riwayat besar di lautan, seperti
Bapak”
Rimba : “Dan sebagai orang kepercayaan Daeng,
saya, Rrrimba, akan ikut Uduk, mempertaruhkan nasib bersama, sehidup-semati”
Uduk : “inilah anak laki-laki tubarani, titian
darah sang penakluk laut, yang tak pernah gentar sampai sekarang. Jika layar
sudfah terkembangn lebih bik mati daripada kembbali ke pantai”
Rimba : “Dan
sebagai orang kepercayaan Daeng, saya Rrrimba yang ditugaskan menjadi pa’lapa’
barambang bagi keselamatan Uduk…” (MNEDEKATI MANDOR) “Saya selalu memompakan ke
dalam diri Uduk, jurus eja tompi seng na doing! Pukul dulu baru piker”
Uduk : (GERAK-GERIK ANGNGARUK) “ dan atas nama jurus eja tompi seng
na doang, atas nama prinsip pukul dulu baru piker, aku Uduk, putera ketiga sang
penakluk laut, yang namanya melampaui luas dan dalamnya lautan,dengan ini
berjanji, akan melestarikan nama dan kebesaran ayahanda”
Rimba : “Dan saya Rrrim….”
Sang
Mandor : “berhentiiiii!” (SEMUA JADI PATUNG) “kata-kata! Selautan
kata-kata. Kepalaku bengkak, perutku buncitk, tubuhkurasanya akan meledak oleh
kata-kata kalian! Mulai dari anak pertama Juki, banyaknya kata-katanya, tapi
buntutnya itu …aku jadi pingsan dibuatnya.
Uduk : (MENDEKATI SANG MANDOR) “Keterlaluan Juki. Dialah penyebab
pingsannya bapak”
Poke : “ya, betul-betul keterlaluan. Jadi dilah penyebab pingsannya
Bapak?”
Juki : “Hoe, jangan ikut campur! Itu urusan kami berdua!”
uduk : “saya
huga aanaknya. Saya wajib membela ayah saya. Saya
tidak
mau beliau cedera! Apalagi pingsan”
poke : “jadi kau, Juki; kau yang menjadi sebab ayah tadi pingsan?
Sampai hati kau. Kita, ya, terutama aku, aku yang eslalu berusaha keras menjaga
ayah, tahu-tahu kecolongan orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hatu
kau!” (MENGAYUNKAN TINJU KE WAJAH JUKI)
Uduk : (MELOMPAT DI ANTARA KEDUANYA DENGAN SIKAP SIAP TEMPUR)
“Poke, ini tugas saya. Sayalah yang lebih pantas membelah ayah, membalas sakit
hatio ayah karena telah dibuat pingsan oleh anaknya sendiri, oleh Juli…” (KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKJUL DAMN DI PUKUL,
TERKAM-MENERKAM, BERGULING-F\GULING)
Mulli : (PANIK, MENANGIS, MENJERI-JERIT) “Sudah, anak-anakku,
sudah…sudah…nak…!”
Sang
Mandor : (MENJERIT)”berhenti…berhenti…”
Rimba : (MEMATUNG Melongo)
Sang
Mandor : “Rimba kenapa diam seperti tiang kapal di situ? Buktikan
bajhwa kamu tidak Cuma jago berkata-kata! Buktikan! Bultikan! Pisahkan
mereka…pisahkan!”
Rimaba : (PUCAT,
TERSIPU-SIPU) “ma… maaf… maaf, Daeng. Ini tidak temasuk dlam jurtus persilatan
saya”
Sang
Mandor : “Settttan Kau!
Berhentiiiii!” (ORANG-ORAMH YANG BERGULING ITU SPONTAN BERHENTI. MEREKA
TERPAKU HERAN MELIHAT SANG MANDOR BERDIRI TEGAK DI ATAS LANTAI, SEAKAN TERIAKANNYA
ITU MEMBUAT LARI PENYAKIT LUMPUHNYA)
Mulli : (TERHARU, GEMBIRA KARENA MELIHAT SANG MANDOR TEGAK) “Daeng, daengku, engkau mampu mengatasi
lumpuhmu. Aku, aku merasakan tubuhku tagak berdiri di pelabuhan, ditepi
dermaga, melambaikan sapu tangan ketika kapalmu bertolak… aku memandang tubuhmu
yang perkasa, kau senyum padaku”
(MENDELKATI SANG MANDOR) “aku ingin seklai menyentuhmu, Daeng….”
Sang
Manador : “Jangan mendekat…”
(MENATAP ANAK-ANAKNYA) “sudah
kukatakan, bahwa dalampingsanpun aku hars bisa mandiri. Apalagi kini. Rasanya
aku segar sekali. (MENATAP UDUK) “nah,
Uduk katakanlah keinginanmu. Langsung, tanpa bunga-bunga kata. Tanpa
pengakuan-pengakuan besar. Bahakan tanpa pergumulan…. Ayo, Uduk!”
Uduk : (BINGUNG TETAPI MENEMUKAN KEBERANIANNYA) “Berka ajaran Ayah,sayapu akan segera
melaksanakan rencanaku menjadi mandor pelaut. Tentu mulai dari bawah, sebagai
kelasi”
Sang
Mandor : “Bagus”
Uduk : “Karena itu. Sebagai bekal, satu dari dua perahu ayah…
talah…”
Sang
Mandor : “Kau jual toch?!”
Uduk : “Iya, ayah; dan…”
Sang
Mandor : “Cukup! Mestinya inilah pingsanku yang kedua. Terbanglah
semua perahuku!” (MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA. DIA BERGHASIL, MASIH BERDIRI
TEGAK) “Juki, Uduk; perkelahian kalian
untuk membela ayah, ternyata buntutnya memukul ayah juga. Perahu saya cuma dua.
Dua-duanya melayang..”
Poke : “Ayah, tapi Ayah jangan terlalu bersedih sebab saya telah
membeli perahu untuk Ayah”
Sang
Mandor : (MEMANDANG TAKJUB KEPADA POKE) “Ternyata putera keduaku, satu-satunya bibit
paling unggul. Tapi… bagaimana caranya sampai kau bisa membeli perahu, Poke?”
Poke : “Ya, sebagai orang dagang, saya ini harus pintar-pintar dan
lihai meindah-mindahkan barang. Supaya uintung”
Sang
Mandor : “Artinya”
Poke : “sya harus ada modal beli barang dagangan. Maka sawa, empang
milok ayah, maaf, sudah saya jual”
Sang
Mandor : (BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA) “Mestinya in ilah pingsanku yang kedua tambah
setengah. Mulanya perahu. Kini sawah… empang… terus…?”
Poke : “ya, begitulah ayah. Saya ini… saya ini kan pedagang…”
Sag
Mandor : “ya, ya, saya tahu. Lalu…?”
Poke : “ya, begitulah pedahang, ayah. Ada saat untung, ada saat rugi”
Sang
Mandor : “Lalu…?”
Poke : “Ayah tidak baca di Koran tentang badai yang menenggelamkan
perahu pinisi yang perkasa di Masalembo?”
Sang
Mandor : “Maksudmu?”
Poke : “Perahu danseluruh barang dagaangannya milil saya itulah
syang diberitaakan di koran-koran…”
Sang
Mandor : (TUBUH SANG MANDOR TERLONCAT SETENGAH METER KE ATAA DARI
LANTAI. TERIAKAN YANG BERKALI-KALI LIPATNYA KERASNYA DARI TERIAKAN TADI MEMBUAT SPONTAN MELONCAT KE KURSI) “Habiiis… habiiis…habiiis…” (SANG MANDOR TERDUDUK DI KURSI. MENGATUR
NAFAS) “habis sudah semuanya” (SUASANA HENING BEBERAPA LAMA. SEMUA YANG DI
DEPAN SANG MANDOR BERJONGKOK SAMBIL MEMANDANGI LANTAI. KECUT) “Juki, Poke,Uduk, dan kau Rimba…Pergilah
kalian. Cari dan temukan jalan kalian masing-masing” (SEMUA BERDIRI, TUNDUK, BERGERAK PELAN MENUJU
PINTU) “Kalian… tunggu!” (DIAM SEJENAK) “ Ah, sudahlah. Kaliam aku maafkan. Ya, ya.
Salah aku juga. Aku adalah ayah yang lerlampau bangga terhadap riwayat besar
masa lalu, tanpa pernah berupaya buat memahami jiwa anal-anak sendiri. (DIAM LAGI)
“Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali satu kalimat; jangan
lagi menadahkan tangan… kecuali kepada Tuhan…”
(JUKI,
POKE, UDUK, RIMBA, PERGI MENINGGALKAN SANG MANDOR. SANG MANDOR MENATAP LEMBUT
PADA ISTRINYA YANG TERTUNDUK DI LANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH.
“Mulli,
bangkitlah engkau… dan lihat, aku telah di sini… di kursi ini”
Mulli : (MENGANGKAT KEPALA. IA MERASA SEPERTI
TERBANG MELIHAT SUAMINYA BERHASIL MEREBUT
DAN MENDUDUKI KURSINYA)
“Daeng
Gassing, suamiku…egkau berhasil merebut kursimu da mendudukinya. Engkau
berhasil. Ya, Tuhan…”
(MEMELUK
SUAMINYA) “Engakau telah merebut kembali
laaut-lautmu, pelabuhan-pelabuhanmu, kapal-kapalmu, pengembaraanmu…”
sang Mandor : “Ya, dalam diri engkau… dalam diri
anak-anakku…” (MEMANDANG KE ATAS SAMBIL
MENGELUS RAMBUT ISTRINYA, IA SEPERTI BERBISIK KEPADA SESUATU DI ATAS SANA)
“Tuhan… Terima kasih”
SEKIAN