Minggu, 26 Februari 2017

Naskah Drama Sang Mandor



SANG MANDOR
RAHMAN ARGE

Tokoh : 
               Dg. Gassing (Sang Mandor)
               Mulli (Istri Sang Mandor)
               Juki                (Anak I)
               Poke             (Anak II)
               Uduk             (Anak III)
               Rimba           (Body Guard)

Tempat: Rumah Sang Mandor

Sang Mandor  : (MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK, MENGGUMAM)
                          “Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku cuma di sini”.
                            (TERDENGAR PELUIT KAPAL)
                            “Inikah akhir riwayatku? Sebagai mandor? Sebagai ayah? Sebagai suami? Sebagai laki-laki? Sebagai… manusia”
                            (BATUK-BATUK. IA BERUSAHA MELAWAN REMATIKNYA. IA MERANGKAK, MENCOBA BERGERAK KE JENDELA. MEMANDANG KELUAR. MASUK MULLI).
Mulli               : (MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI MEJA)
                          “Pak, saatnya minum obat. Hari sudah sore. Jangan dekat-dekat jendela. Di situ banyak angin. Astaga, bagaimana kau bisa sampai disitu?”
Sang Mandor   : ”Berapa kali dalam sehari semalam aku harus mendengar kata-kata itu?  Jangan!  Jangan!  Jangan ini!  Jangan itu!        
Mulli                : “Di situ banyak angin, Pak
Sang Mandor    :         “Kayak anak balita saja. Dituntun-tuntun”
Mulli                  :         “Obatnya, Pak”
Sang Mandor    :         (BERTERIAK) “ Ya”
Mulli                  :         “Sekarang”
Sang Mandor    :         “Iya”
Mulli                  :         “Minum sekarang!”
Sang Mandor    :         “Iya,  Iya,  Iya!”
            Mulli                  :         “Obatnya saya bawqa ke situ, atau Bapak yang saya bawa ke                                 sini?”
            Sang Mandor     :        (DIAM.  MATANYA MENYALA. BATUK-BATUK) “Inikah           akhir?”
Mulli                 :          (MENDEKATI MANDOR. MENCOBA MEMBANTUNYA           KE KURSI) “Ayolah, Pak. Saya bantu”
Sang Mandor    :         (MELEDAK) “ Jauh kau perempuan! Jangan mendekat. Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak sendiri. (MENCOBA BERGERAK KE KURSI TAPI SANGAT PAYAH) “lautan luas aku jelajahi. (IA TERJATUH. SUSAH PAYAH IA BANGKIT) “ aku kenal kapal-kapal. Begitu banyak kapal”….(IA KERINGATAN. IA BATUK-BATUK) “Aku akrab dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu banyak pelabuhan”. (IA MNGERANG. REMATIKNYA NGAMUK) “Aku bersahabat dengan begitu banyak bangsa. Laki-laki… Perempuan…(TUBUHNYA TERHEMPAS KE LANTAI)
Mulli                  :         (MELOMPAT UNTUK MENOLONG TAPI SEGERA UNDUR KARENA MENDENGAR TERIAKAN SANG MANDOR)
Sang Mandor    :         “jangan dekat! Jangan!” (DENGAN TENAGA TERAKHIR IA BANGKIT. IA MENATAP KE KURSI DENGAN MATA YANG MENYALA) “ Telah kuarungi laut sampai Cape Town. Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan mencium lututku. Lalu… lalu hanya untuk sampai ke kursi aku harus kalah, ha…?” (IA ROBOH)
Mulli                  :         (BERGEGAS AKAN MENOLONG) “ Semua tak ada yang langgeng, Pak. Sadarlah. Tak ada orang yang bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain. Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siappun dia, masing-masing berangkat tua, sakit-sakit, kesepian…”

Sang Mandor    :         “Siapa bilang aku kesepian”
Mulli                  :         “Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada”
Sang Mandor    :         “Aku tidak keespian bukan karena kau ada, perempuan! Kau ada atau tudak ada, aku tidak kespian. Aku bisa mengurus dirikun sendiri tanpa siapa-siapa…”
Mulli                  :         (BANGKIT MENAHAN EMOSI) “ Ayo, laki-laki! Hiduplah sendiri! Uruslah dirimu! Raih kursi itu! Letaknya hanya beberapa meter. Capailah! Ayo capailah, Tuan Mandor Besar”
Sang Mandor    :         “Diam!  diam!  diam!”
Mulli                  :         “Aku takkan diam! Sepanjang hidupkun takperenah tidak kau koyak-koyak hatiku. Sejak dulu. Sampai kini  (MERATAP PEDIH) “kehadiranku di sampingmu tak pernah kau anggap. Tak pernah kau hargai. Bagimu, aku ternyata tak pernah ada. Tak pernah kau hitung bahwa aku juga manusia” ( MELEDAK LAGI) “ ayo! Merangkaklah! Merangkaklah kau seorang diri ke kursi itu! Rebut kursi itu! Rebut! Rebut! Rebut kursi itu dengan keangkuhanmu! (KEPEDIHAN BERCAMPUR KEJENGKELAN) “ Begitu banyak pelabuhan. Begitu banyak negeri. Begitu banyak perempuan. Nah! Mana? Mana? Mana semua itu, Tuan Mandor?
Juki                    :         (MASUK TERGESA-GESA MENUJU RUANG TENGAH. MENENANGKAN KEDUA ORANG TUANYA) “Saya tidak mengerti sampai kapan ayah dan ibu bisa rukun?  Sampi kapan hari tua kalian dibiarkan begini terus? kapan bisa menikmati ketenangan? Rasa tenteram? Kebahagiaan? Kedamaian?
Sang Mandor    :         “sampai kapan, kau anak kecil, bisa berhenti berkhotnah di hadapan saya?”
Juki                    :         Kerukunan? Keseiasekataan?
Sang Mandor    :         “ Khotbah. Hentikan.”
Juki                    :         (MENINGKAT) “Kasih sayang? Hormat-menghormatai? Harga-menghargai?”
Sang Mandor    :         “Hentikan”
Juki                    :         “Tepo Seliro”
Sang Mandor    :         “Stop. Kataku!
Juki                    :         “Cinta-mencintai”
Sang Mandor    :         “Berhentiiiiiii!” (BATU-BATUK. AMAT MARAH. DIAM)
Mulli                  :         (MENCOBA MENOLONG SUAMINYA) “ Dengan meledak-ledak begini nafasmu bisa habis. Apa yang dikatakan anakmu, Juki, memang benar. Kita hampir-hampir tak punya waktu untukmerasakan nikmat yang diberikan Tuhan. Sadarlah. Sadar…”
Sang Mandor    :         Ahh…! Aku tahu apa yang tersembunyi dibalik nasihat-nasihat Juki. Kapan dia datang berkhotbah pasti ada apa-apanya pasti. Ada maunya…”
Mulli                  :         (MENATAP LEMBUT ANAKNYA) “ Betulkah itu, Juki?”
Juki                    :         (DIAM SEJENAK) “Iya. Iya, Bu.”
Sang Mandor    :         “Dan pasti, bagiku, itu kabar buruk.”
Mulli                  :         “Apa itu, Juki”
Juki                    :         “Saya. Saya habis kawin,Bu”
Mulli                  :         “Astagfirullah”
Juki                    :         “Sempurnalah, Bagiku sebagai laki-laki”
Sang mandor     :         “Artinya, ini istrimu yang keempat Toch?”
Juki                    :         “Eampat sempurna, Pak. Saya sekedar mengulangi riwayat Bapak”
Sang Mandor    :         “Setaaaaaan”
Juki                    :         “Maaf, Pak; satu perahu Bapak terpaksa saya jual untuk ongkos kawin dan kontrak rumah”
Sang Mandor    :         (ROBOH. PINGSAN)
MULLI             :         “Tolong…Tolong…Tolong…
                                    (MASUK POKE, UDUK, RIMBA. MEREKA RAMAI-RAMAI MAU MEMBANTU SANG MANDOR DARI PINGSANNYA, TAPI SEBELUM MEREKA MENYENTUH TUBUH SANG MANDOR, SANG MANDOR BANGUN)
Poke                  :         “Ini saya, Pak. Saya Poke. Anak Bapak”
Uduk                 :         “dan saya Uduk. Kami siap membantu Bapak. Kapan saja, dam di mana saja. Saya anak ketiga”
Rimba                :         “Saya Rrrrimba. Orang kepercayaan Daeng untuk mendampingi Uduk. Juga kapan dan di mana saja”
Sang Mandor    :         “Kenapa saya”
Juki                    : `       “Bapak tadi pingsan”
Poke                  :         “Ramai-ramai kami mau menolong Bapak, tapi baru kami mendekat , Bapak sudah keburu sadar dan bangun”
Uduk                 :         “Seandainya Bapak masih pingsan, tentu kami sudah bergotong royong membantu Bapak ke pembaringan dan….
Poke                  :         (MEMOTONG) “Dan merasakan betapa hangatnya kasih sayang kami, anak-anak Bapak imni, kepada orang tuanya”
Rimba                :         “Dan seakalipun saya Rrrimba hanya orang kepercayaan Daeng, tak kurang kasih sayang saya kepada Daeng. Hmm… saya boleh dibilang , ya, sudah keluarga jugalah begitu”
Sang Mandor    :         (BATUK-BATUK) “Betulkah tadi saya pingsan?”
Semua               :         (BEREBUTAN) “Betul, betul, brtul, Pak”
Sang Mandor    :         “Lalu saya tiba-tiba sadar, terbangun ketika kalian mau m,enolong?”
Semua               :         “Betul, betul, betul, Pak”
Sang Mandor    :         (MENATAP SATU-SATU) “Tahukah kalian pertanda apa itu?”
Semua               :         “tid,..tidak…tidak,Pak
Sang Mandor    :         “nah, itu pertanda, dalam pingsan aku harus bisa mandiri”
Poke                  :         “ Tapi, maaf Pak sekarangkan sudah sore mengapa bapak duduk di lantai”
Uduk                 :         “ya, mengapa bukan di kursi?”
Rimba                :         “Atau di ranjang”
Juki                    :         (MENATAP YANG LAIN) “Ayo, hari sudah hampir gelap mari kita ramai-ramai menolong Bapak ke kursi”
Samng Mandor :         (BERTERIAK) “Jangaaaan” (SEMUA BINGUNG DITATAP SANG MANDOR. SANGAT LEMBUT) “Uduk, bagaimana dengan rencanamu yang perbah kau bilang? Jadi kau berlayar? Menjadikelasi dan berjuang sampai kau bisa menjadi mandor?”
Uduk                 :         (SERIUS) “Ya. Seperti Bapak. Sayalah yang bersedia menggantikan Bapak, mengukir riwayat besar di lautan, seperti Bapak”
Rimba                :         “Dan sebagai orang kepercayaan Daeng, saya, Rrrimba, akan ikut Uduk, mempertaruhkan nasib bersama, sehidup-semati”
Uduk                 :         “inilah anak laki-laki tubarani, titian darah sang penakluk laut, yang tak pernah gentar sampai sekarang. Jika layar sudfah terkembangn lebih bik mati daripada kembbali ke pantai”
Rimba                            :         “Dan sebagai orang kepercayaan Daeng, saya Rrrimba yang ditugaskan menjadi pa’lapa’ barambang bagi keselamatan Uduk…” (MNEDEKATI MANDOR) “Saya selalu memompakan ke dalam diri Uduk, jurus eja tompi seng na doing! Pukul dulu baru piker”
Uduk                 :         (GERAK-GERIK ANGNGARUK) “ dan atas nama jurus eja tompi seng na doang, atas nama prinsip pukul dulu baru piker, aku Uduk, putera ketiga sang penakluk laut, yang namanya melampaui luas dan dalamnya lautan,dengan ini berjanji, akan melestarikan nama dan kebesaran ayahanda”
Rimba                :         “Dan saya Rrrim….”
Sang Mandor    :         “berhentiiiii!” (SEMUA JADI PATUNG) “kata-kata! Selautan kata-kata. Kepalaku bengkak, perutku buncitk, tubuhkurasanya akan meledak oleh kata-kata kalian! Mulai dari anak pertama Juki, banyaknya kata-katanya, tapi buntutnya itu …aku jadi pingsan dibuatnya.
Uduk                 :         (MENDEKATI SANG MANDOR) “Keterlaluan Juki. Dialah penyebab pingsannya bapak”
Poke                  :         “ya, betul-betul keterlaluan. Jadi dilah penyebab pingsannya Bapak?”
Juki                    :         “Hoe, jangan ikut campur! Itu urusan kami berdua!”
uduk                  :         “saya huga aanaknya. Saya wajib membela ayah saya. Saya                                                                   tidak mau beliau cedera! Apalagi pingsan”
poke                  :         “jadi kau, Juki; kau yang menjadi sebab ayah tadi pingsan? Sampai hati kau. Kita, ya, terutama aku, aku yang eslalu berusaha keras menjaga ayah, tahu-tahu kecolongan orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hatu kau!” (MENGAYUNKAN TINJU KE WAJAH JUKI)
Uduk                 :         (MELOMPAT DI ANTARA KEDUANYA DENGAN SIKAP SIAP TEMPUR) “Poke, ini tugas saya. Sayalah yang lebih pantas membelah ayah, membalas sakit hatio ayah karena telah dibuat pingsan oleh anaknya sendiri, oleh Juli…”  (KETIGANYA BAKU HANTAM, MEMUKJUL DAMN DI PUKUL, TERKAM-MENERKAM, BERGULING-F\GULING)
Mulli                  :         (PANIK, MENANGIS, MENJERI-JERIT) “Sudah, anak-anakku, sudah…sudah…nak…!”
Sang Mandor    :         (MENJERIT)”berhenti…berhenti…”
Rimba                :         (MEMATUNG Melongo)
Sang Mandor    :         “Rimba kenapa diam seperti tiang kapal di situ? Buktikan bajhwa kamu tidak Cuma jago berkata-kata! Buktikan! Bultikan! Pisahkan mereka…pisahkan!”
Rimaba              :         (PUCAT, TERSIPU-SIPU) “ma… maaf… maaf, Daeng. Ini tidak temasuk dlam jurtus persilatan saya”
Sang Mandor    :         “Settttan Kau!  Berhentiiiii!” (ORANG-ORAMH YANG BERGULING ITU SPONTAN BERHENTI. MEREKA TERPAKU HERAN MELIHAT SANG MANDOR BERDIRI TEGAK DI ATAS LANTAI, SEAKAN TERIAKANNYA ITU MEMBUAT LARI PENYAKIT LUMPUHNYA)
Mulli                  :         (TERHARU, GEMBIRA KARENA MELIHAT SANG MANDOR TEGAK)  “Daeng, daengku, engkau mampu mengatasi lumpuhmu. Aku, aku merasakan tubuhku tagak berdiri di pelabuhan, ditepi dermaga, melambaikan sapu tangan ketika kapalmu bertolak… aku memandang tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku”  (MENDELKATI SANG MANDOR) “aku ingin seklai menyentuhmu, Daeng….”
Sang Manador   :         “Jangan mendekat…”  (MENATAP ANAK-ANAKNYA)  “sudah kukatakan, bahwa dalampingsanpun aku hars bisa mandiri. Apalagi kini. Rasanya aku segar sekali. (MENATAP UDUK)  “nah, Uduk katakanlah keinginanmu. Langsung, tanpa bunga-bunga kata. Tanpa pengakuan-pengakuan besar. Bahakan tanpa pergumulan…. Ayo, Uduk!”
Uduk                 :         (BINGUNG TETAPI MENEMUKAN KEBERANIANNYA)  “Berka ajaran Ayah,sayapu akan segera melaksanakan rencanaku menjadi mandor pelaut. Tentu mulai dari bawah, sebagai kelasi”
Sang Mandor    :         “Bagus”
Uduk                 :         “Karena itu. Sebagai bekal, satu dari dua perahu ayah… talah…”
Sang Mandor    :         “Kau jual toch?!”
Uduk                 :         “Iya, ayah; dan…”
Sang Mandor    :         “Cukup! Mestinya inilah pingsanku yang kedua. Terbanglah semua perahuku!” (MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA. DIA BERGHASIL, MASIH BERDIRI TEGAK)  “Juki, Uduk; perkelahian kalian untuk membela ayah, ternyata buntutnya memukul ayah juga. Perahu saya cuma dua. Dua-duanya melayang..”
Poke                  :         “Ayah, tapi Ayah jangan terlalu bersedih sebab saya telah membeli perahu untuk Ayah”
Sang Mandor    :         (MEMANDANG TAKJUB KEPADA POKE)  “Ternyata putera keduaku, satu-satunya bibit paling unggul. Tapi… bagaimana caranya sampai kau bisa membeli perahu, Poke?”
Poke                  :         “Ya, sebagai orang dagang, saya ini harus pintar-pintar dan lihai meindah-mindahkan barang. Supaya uintung”
Sang Mandor    :         “Artinya”
Poke                  :         “sya harus ada modal beli barang dagangan. Maka sawa, empang milok ayah, maaf, sudah saya jual”
Sang Mandor    :         (BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA)  “Mestinya in ilah pingsanku yang kedua tambah setengah. Mulanya perahu. Kini sawah… empang… terus…?”
Poke                  :         “ya, begitulah ayah. Saya ini… saya ini kan pedagang…”
Sag Mandor      :         “ya, ya, saya tahu. Lalu…?”
Poke                  :         “ya, begitulah pedahang, ayah. Ada saat untung, ada saat rugi”
Sang Mandor    :         “Lalu…?”
Poke                  :         “Ayah tidak baca di Koran tentang badai yang menenggelamkan perahu pinisi yang perkasa di Masalembo?”
Sang Mandor    :         “Maksudmu?”
Poke                  :         “Perahu danseluruh barang dagaangannya milil saya itulah syang diberitaakan di koran-koran…”
Sang Mandor    :         (TUBUH SANG MANDOR TERLONCAT SETENGAH METER KE ATAA DARI LANTAI. TERIAKAN YANG BERKALI-KALI LIPATNYA KERASNYA DARI TERIAKAN TADI  MEMBUAT SPONTAN MELONCAT KE KURSI)  “Habiiis… habiiis…habiiis…”  (SANG MANDOR TERDUDUK DI KURSI. MENGATUR NAFAS)  “habis sudah semuanya”  (SUASANA HENING BEBERAPA LAMA. SEMUA YANG DI DEPAN SANG MANDOR BERJONGKOK SAMBIL MEMANDANGI LANTAI. KECUT)  “Juki, Poke,Uduk, dan kau Rimba…Pergilah kalian. Cari dan temukan jalan kalian masing-masing”  (SEMUA BERDIRI, TUNDUK, BERGERAK PELAN MENUJU PINTU)  “Kalian… tunggu!”  (DIAM SEJENAK)  “ Ah, sudahlah. Kaliam aku maafkan. Ya, ya. Salah aku juga. Aku adalah ayah yang lerlampau bangga terhadap riwayat besar masa lalu, tanpa pernah berupaya buat memahami jiwa anal-anak sendiri.  (DIAM LAGI)  “Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali satu kalimat; jangan lagi menadahkan tangan… kecuali kepada Tuhan…”
                          (JUKI, POKE, UDUK, RIMBA, PERGI MENINGGALKAN SANG MANDOR. SANG MANDOR MENATAP LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERTUNDUK DI LANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH.
                          “Mulli, bangkitlah engkau… dan lihat, aku telah di sini… di kursi ini”
Mulli                  :         (MENGANGKAT KEPALA. IA MERASA SEPERTI TERBANG MELIHAT SUAMINYA BERHASIL MEREBUT  DAN MENDUDUKI KURSINYA)
                          “Daeng Gassing, suamiku…egkau berhasil merebut kursimu da mendudukinya. Engkau berhasil. Ya, Tuhan…”
                          (MEMELUK SUAMINYA)  “Engakau telah merebut kembali laaut-lautmu, pelabuhan-pelabuhanmu, kapal-kapalmu, pengembaraanmu…”
sang Mandor     :         “Ya, dalam diri engkau… dalam diri anak-anakku…”  (MEMANDANG KE ATAS SAMBIL MENGELUS RAMBUT ISTRINYA, IA SEPERTI BERBISIK KEPADA SESUATU DI ATAS  SANA)
                          “Tuhan…   Terima kasih”

SEKIAN

Senin, 19 Desember 2016

Konsep Kepenyairan Aslan Abidin

Setiap penulis/ penyair, selalu dihadapkan pada cara menggunakan bahasa, tentang bagaimana ia memilih kata, merangkai kata, sehingga teks itu (karya sastra) berbeda. Pemilihan kata (diksi) sangat berpengaruh pada kekhasan seorang penyair. Kekhasan itu dipengaruhi oleh proses seleksi, manipulasi dalam mengkobinasikan kata-kata. Pilihan kata (diksi) di pengaruhi banyak hal, bisa cultural, geografis, agama, pendidikan, konsep kepenyairan (sufi, mantra, abstrak, dll). 

 Puisi-puisi Aslan Abidin banyak menggunakan gaya sindiran, ironi, Sarkasme (menyindir langsung), satire (puisi berisi sindiran), dalam hal penyampaian ia cenderung “jujur” dalam menyampaikan realitas, dan kadang-kadang mengejek “tubuh” atau menggambarkan tubuh seperti kemaluan, vagina, sebagai hal yang lumrah untuk disebut sebagai bagian tubuh layaknya menyebut kepala, tangan. Ia beranggapan bahwa tak ada bagian dari tubuh yang tabu untuk disebutkan, entah itu kepala, vagina, kemaluan, buah dada atau lain sebagainya, sepanjang ia bagian dari tubuh, kita tidak membeda-bedakannya sehingga tidak ada klasifikasi bahwa ada bagian yang tabu untuk disebutkan. Fenemona-fenomena realitas inilah kemudian dia bungkus dalam tubuh yang dijadikan latar karya-karyanya. (mengenai penjelasan, baca ironi- kemaluan-tragis)  

TUBUH SEBAGAI LATAR 
Aslan Abidin dalam hal pemilihan diksi banyak menggunakan “tubuh” sebagai latar dalam karya-karyanya. (Bagian) Tubuh ini secara jujur dijadikan gambaran citraan (imaji) sehingga menjadi segar dan terasa hidup. Namun menurut saya imaji tubuh dalam puisi Aslan Abidin bukan dalam artian erotisme atau pornografi. Jadi sangat jauh dari pengertian erotisme. Kata erotisme dalam beberapa pengertian dapat dikatakan tentang keadaan bangkitnya nafsu birahi (ketika kita membaca), atau dalam artian keinginan berhubungan seks. Sama sekali tidak muncul keinginan erotisme ketika kita membaca puisi-puisi Aslan Abidin. Dan sama sekali jauh dari konteks pornografi (penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi). Latar tubuh dalam puisi Aslan Abidin cenderung pada penggunaan gaya ironi (mengejek dan menyindir). Misal pada puisi Polispermigate : “Skandal” masuknya beberapa sperma kedalam sel telur. Selain itu, kadang-kadang ia menyelingi dengan teks-teks yang “nakal” dan kadang menurut saya genit tapi tidak terjebak pada “pornografi” tanpa pesan, 

Tapi nawang bulan, aku juga suka 
Membayangkan kau membuka celana
 Untukku. Dan mungkin aku akan terkesiap 
Menatap kemaluanmu yang mangap: 
Seperti polisi yang siap menerima suap
 Dalam puisi ini Aslan Abidin menceritakan seoarang perempuan kembang yang sering dijadikan tempat pelampiasan nafsu para pejabat yang menghasilkan uang hasil rampokan (korupsi). Selengkapnya sebagai berikut;

Polispermigate 
Perempuan kembang bertubuh pualam 
Di ujung jalan itu, menyimpan bejana dalam 
Lekuk tubuhnya 
Ia menjadi tempat minum segerombolan 
 Lelaki pejabat yang datang menghabiskan uang hasil rampokan. 
 Perempuan kembang di ujung jalan 
Entah mengapa aku selalu menghayalkan diriku tersesat dikamarmu
dan sebagai bentara para penjahat 
kau kisahkan padaku sebuah riwayat 
panjang, tentang syahwat kaum pejabat 
dari sebuah negeri yang sakit. 
Hal-hal lain yang sangat dekat dengan “ tubuh” yang banyak kita temukan dalam diksi-diksinya, seperti persetubuhan, berpelukan, ranjang, “bermimpi” memperkosamu, bugil, mengangkang dan lain sebagainya. Cara dia mengolah (mencitrakan) menarik perhatian kita sehingga seolah-olah membawa kita hadir, terpana, membayangkan dan tiba-tiba pada membenturkan (mengejutkan) kita pada wilayah kritiknya (lihat puisi mitraliur dan puisi diatas). 
Seperti ungkapan kritikus sastra Katrin Bandel dalam pengantar Antologi puisi Bahaya Laten Malam Pengantin, dia berpendapat, puisi Aslan Abidin sangat menyegarkan, tidak sekedar merayakan seksualitas sekedar untuk sensasi. Dengan kata lain, representasi seksualitas dan imagi Gender dalam puisi Aslan bersifat kritis tetapi tidak menjadi sok “toleran” atau “sok terbuka”. 
 Konsep atau Gaya Bercerita 
Saya beberapa kali melihat (Aslan Abidin) membacakan puisinya, tanpa ekspresi seperti bercerita. Begitu pun ketika kita membaca puisi-puisinya, sangat kental dengan gaya bercerita. Namun kekuatan teks-teks puisinya begitu luar biasa. Kata-kata dalam pusinya seperti mewakili mata kita dari apa yang sebenarnya sering kita jumpai sehari-hari, namun dengan kecenderungan kritik sosial yang tajam dan kadang disertai dengan “kelucuan” (menggelikan) Seperti pada puisinya sajak untuk sebuah jalan, 
“Sajak Untuk Sebuah Jalan”. 

Mungkin akan ada saatnya kita turun
Kejalan. Melihat perempuan-perempuan
Yang menjinakan nasib buas, dengan mengangkangkan
Kedua paha

Melihat lelaki-lelaki
Kurus pulang tengah malam sambil menendangi
Kaleng-kaleng kosong- sementara istri-istri mereka di
Rumah, dengan bajunya yang longgar, terisak menyusui
Harapannya.

“siapa yang kau gambar, dik?.
“aku menggambar Ayah.”
“tapi kenapa bertanduk dan berkaki empat?” (hewan, sifat kebinatangan)
“entahlah, aku memang tak pernah melihatnya.”


ia seakan mengajak kita melihat kondisi sosial dari sudut pandang yang lebih dekat, bukan hanya sekedar melihat dari jauh kemudian memberikan penilaian, misalnya pada perempuan-perempuan yang “menjinakan nasib buas” dst….. Teks ini seperti sebuah kritik pada masyarakat (utamanya masyarakat yang religius) yang menjastifikasi “perempuan” dalam teks ini sebagai sampah masyarakat, perempuan tidak benar, tanpa melihat bagaimana dia berjuang melawan hidup yang tragis (menjinakan nasib buas). Atau pada Bait III, sebuah Tanya jawab antara seorang penyair dan seorang bocah. Saya teringat dengan beberapa puisi Remy Silado dan pusi Mbeling (mengutamakan unsur kelakar, maksud lain yang disembunyikan) atau puisi yang tidak terpaku pada kaidah-kaidah sastra yang kaku, mungkin terkesan lucu dan kadang menggelikan, misalnya pada sajak celana. 
Atau pada sajak, Masuk keluar Mall; ingatkan aku pada banyak orang (seperti bercerita) 
Masuk kesebuah mall, disambut
Gadis-gadis pelayan dengan buah dada lapang. Melihat
 Gadis-gadis pengunjung melompat-menggeliat
Seperti ikan di atas bara: cina, jawa, bugis, arab, dst.

Memegang-megang pakaian dalam impor dan
Membayangkan kemaluan orang asing. Kemaluan-
Kemaluan yang diposkan Dari benua-benua baja. Dan
Di sini, kita mencocok-cocokannya dengan kemaluan
Sendiri. Berstanding party membaca buku agama:
Jalan-jalan keneraka, dan buku konsultasi seks; bagaimana
Membebaskan diri dari onani.
Dst..
-          Menyindir
-          Judas (Judas/Yudas diambil dari nama salah satu murid Yesus
Murid yang menyerahkan Yesus kepada pemerintah pada Zaman tersebut.
Jadi Arti dari Judas/Yudas adalah Penghianat)
 

 Atau pada puisi Mitraliur 
            Kami bercengkrama di depan
Televisi. Bergantian memijit remot control
Hingga lepas kendali menelusur seluruh lekuk chanel
Dan melihat semua adegan yang mengerikan
Kami pun meniru orang-orang dan binatang
Dalam televisi: melepas pakaian lalu saling
Lilit seperti ular sambil melenguh seperti sapi.
……
Seperti layar televisi yang bergerigi
 

 Unsur bunyi dalam puisi sangat penting, bunyi bersifat estetik. Bunyi ini erat hubungannya dengan lagu, melodi dan irama. Dalam puisi, bunyi sangat penting untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, bayangan angan, suasana khusus, dan lain sebagainya. Dalam puisi Aslan Abidin sangat memperhatikan unsur bunyi tersebut, bahkan bisa dikatakan dia sangat teliti dalam hal tersebut. Misal, Dengan apa aku terjemahkan seribu Perahu dimatamu kekasih? Dengan cinta aku Mungkin tak ikhlas benar. Aku bahkan selalu Tersenyum diam-diam setiap berpikir meninggalkanmu. Kombinasi bunyi-bunyi vocal (asonansi); a, e,I,o,u. menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama (efoni). Meski pun bait ini menceritkan niat untuk meninggalkan namun efek bunyi tetap memperkuat efek perasaan (mungkin kebosanan, mungkin saja ada rasa sayang), kegembiraan.