Senin, 19 Desember 2016

Konsep Kepenyairan Aslan Abidin

Setiap penulis/ penyair, selalu dihadapkan pada cara menggunakan bahasa, tentang bagaimana ia memilih kata, merangkai kata, sehingga teks itu (karya sastra) berbeda. Pemilihan kata (diksi) sangat berpengaruh pada kekhasan seorang penyair. Kekhasan itu dipengaruhi oleh proses seleksi, manipulasi dalam mengkobinasikan kata-kata. Pilihan kata (diksi) di pengaruhi banyak hal, bisa cultural, geografis, agama, pendidikan, konsep kepenyairan (sufi, mantra, abstrak, dll). 

 Puisi-puisi Aslan Abidin banyak menggunakan gaya sindiran, ironi, Sarkasme (menyindir langsung), satire (puisi berisi sindiran), dalam hal penyampaian ia cenderung “jujur” dalam menyampaikan realitas, dan kadang-kadang mengejek “tubuh” atau menggambarkan tubuh seperti kemaluan, vagina, sebagai hal yang lumrah untuk disebut sebagai bagian tubuh layaknya menyebut kepala, tangan. Ia beranggapan bahwa tak ada bagian dari tubuh yang tabu untuk disebutkan, entah itu kepala, vagina, kemaluan, buah dada atau lain sebagainya, sepanjang ia bagian dari tubuh, kita tidak membeda-bedakannya sehingga tidak ada klasifikasi bahwa ada bagian yang tabu untuk disebutkan. Fenemona-fenomena realitas inilah kemudian dia bungkus dalam tubuh yang dijadikan latar karya-karyanya. (mengenai penjelasan, baca ironi- kemaluan-tragis)  

TUBUH SEBAGAI LATAR 
Aslan Abidin dalam hal pemilihan diksi banyak menggunakan “tubuh” sebagai latar dalam karya-karyanya. (Bagian) Tubuh ini secara jujur dijadikan gambaran citraan (imaji) sehingga menjadi segar dan terasa hidup. Namun menurut saya imaji tubuh dalam puisi Aslan Abidin bukan dalam artian erotisme atau pornografi. Jadi sangat jauh dari pengertian erotisme. Kata erotisme dalam beberapa pengertian dapat dikatakan tentang keadaan bangkitnya nafsu birahi (ketika kita membaca), atau dalam artian keinginan berhubungan seks. Sama sekali tidak muncul keinginan erotisme ketika kita membaca puisi-puisi Aslan Abidin. Dan sama sekali jauh dari konteks pornografi (penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan yang membangkitkan nafsu birahi). Latar tubuh dalam puisi Aslan Abidin cenderung pada penggunaan gaya ironi (mengejek dan menyindir). Misal pada puisi Polispermigate : “Skandal” masuknya beberapa sperma kedalam sel telur. Selain itu, kadang-kadang ia menyelingi dengan teks-teks yang “nakal” dan kadang menurut saya genit tapi tidak terjebak pada “pornografi” tanpa pesan, 

Tapi nawang bulan, aku juga suka 
Membayangkan kau membuka celana
 Untukku. Dan mungkin aku akan terkesiap 
Menatap kemaluanmu yang mangap: 
Seperti polisi yang siap menerima suap
 Dalam puisi ini Aslan Abidin menceritakan seoarang perempuan kembang yang sering dijadikan tempat pelampiasan nafsu para pejabat yang menghasilkan uang hasil rampokan (korupsi). Selengkapnya sebagai berikut;

Polispermigate 
Perempuan kembang bertubuh pualam 
Di ujung jalan itu, menyimpan bejana dalam 
Lekuk tubuhnya 
Ia menjadi tempat minum segerombolan 
 Lelaki pejabat yang datang menghabiskan uang hasil rampokan. 
 Perempuan kembang di ujung jalan 
Entah mengapa aku selalu menghayalkan diriku tersesat dikamarmu
dan sebagai bentara para penjahat 
kau kisahkan padaku sebuah riwayat 
panjang, tentang syahwat kaum pejabat 
dari sebuah negeri yang sakit. 
Hal-hal lain yang sangat dekat dengan “ tubuh” yang banyak kita temukan dalam diksi-diksinya, seperti persetubuhan, berpelukan, ranjang, “bermimpi” memperkosamu, bugil, mengangkang dan lain sebagainya. Cara dia mengolah (mencitrakan) menarik perhatian kita sehingga seolah-olah membawa kita hadir, terpana, membayangkan dan tiba-tiba pada membenturkan (mengejutkan) kita pada wilayah kritiknya (lihat puisi mitraliur dan puisi diatas). 
Seperti ungkapan kritikus sastra Katrin Bandel dalam pengantar Antologi puisi Bahaya Laten Malam Pengantin, dia berpendapat, puisi Aslan Abidin sangat menyegarkan, tidak sekedar merayakan seksualitas sekedar untuk sensasi. Dengan kata lain, representasi seksualitas dan imagi Gender dalam puisi Aslan bersifat kritis tetapi tidak menjadi sok “toleran” atau “sok terbuka”. 
 Konsep atau Gaya Bercerita 
Saya beberapa kali melihat (Aslan Abidin) membacakan puisinya, tanpa ekspresi seperti bercerita. Begitu pun ketika kita membaca puisi-puisinya, sangat kental dengan gaya bercerita. Namun kekuatan teks-teks puisinya begitu luar biasa. Kata-kata dalam pusinya seperti mewakili mata kita dari apa yang sebenarnya sering kita jumpai sehari-hari, namun dengan kecenderungan kritik sosial yang tajam dan kadang disertai dengan “kelucuan” (menggelikan) Seperti pada puisinya sajak untuk sebuah jalan, 
“Sajak Untuk Sebuah Jalan”. 

Mungkin akan ada saatnya kita turun
Kejalan. Melihat perempuan-perempuan
Yang menjinakan nasib buas, dengan mengangkangkan
Kedua paha

Melihat lelaki-lelaki
Kurus pulang tengah malam sambil menendangi
Kaleng-kaleng kosong- sementara istri-istri mereka di
Rumah, dengan bajunya yang longgar, terisak menyusui
Harapannya.

“siapa yang kau gambar, dik?.
“aku menggambar Ayah.”
“tapi kenapa bertanduk dan berkaki empat?” (hewan, sifat kebinatangan)
“entahlah, aku memang tak pernah melihatnya.”


ia seakan mengajak kita melihat kondisi sosial dari sudut pandang yang lebih dekat, bukan hanya sekedar melihat dari jauh kemudian memberikan penilaian, misalnya pada perempuan-perempuan yang “menjinakan nasib buas” dst….. Teks ini seperti sebuah kritik pada masyarakat (utamanya masyarakat yang religius) yang menjastifikasi “perempuan” dalam teks ini sebagai sampah masyarakat, perempuan tidak benar, tanpa melihat bagaimana dia berjuang melawan hidup yang tragis (menjinakan nasib buas). Atau pada Bait III, sebuah Tanya jawab antara seorang penyair dan seorang bocah. Saya teringat dengan beberapa puisi Remy Silado dan pusi Mbeling (mengutamakan unsur kelakar, maksud lain yang disembunyikan) atau puisi yang tidak terpaku pada kaidah-kaidah sastra yang kaku, mungkin terkesan lucu dan kadang menggelikan, misalnya pada sajak celana. 
Atau pada sajak, Masuk keluar Mall; ingatkan aku pada banyak orang (seperti bercerita) 
Masuk kesebuah mall, disambut
Gadis-gadis pelayan dengan buah dada lapang. Melihat
 Gadis-gadis pengunjung melompat-menggeliat
Seperti ikan di atas bara: cina, jawa, bugis, arab, dst.

Memegang-megang pakaian dalam impor dan
Membayangkan kemaluan orang asing. Kemaluan-
Kemaluan yang diposkan Dari benua-benua baja. Dan
Di sini, kita mencocok-cocokannya dengan kemaluan
Sendiri. Berstanding party membaca buku agama:
Jalan-jalan keneraka, dan buku konsultasi seks; bagaimana
Membebaskan diri dari onani.
Dst..
-          Menyindir
-          Judas (Judas/Yudas diambil dari nama salah satu murid Yesus
Murid yang menyerahkan Yesus kepada pemerintah pada Zaman tersebut.
Jadi Arti dari Judas/Yudas adalah Penghianat)
 

 Atau pada puisi Mitraliur 
            Kami bercengkrama di depan
Televisi. Bergantian memijit remot control
Hingga lepas kendali menelusur seluruh lekuk chanel
Dan melihat semua adegan yang mengerikan
Kami pun meniru orang-orang dan binatang
Dalam televisi: melepas pakaian lalu saling
Lilit seperti ular sambil melenguh seperti sapi.
……
Seperti layar televisi yang bergerigi
 

 Unsur bunyi dalam puisi sangat penting, bunyi bersifat estetik. Bunyi ini erat hubungannya dengan lagu, melodi dan irama. Dalam puisi, bunyi sangat penting untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, bayangan angan, suasana khusus, dan lain sebagainya. Dalam puisi Aslan Abidin sangat memperhatikan unsur bunyi tersebut, bahkan bisa dikatakan dia sangat teliti dalam hal tersebut. Misal, Dengan apa aku terjemahkan seribu Perahu dimatamu kekasih? Dengan cinta aku Mungkin tak ikhlas benar. Aku bahkan selalu Tersenyum diam-diam setiap berpikir meninggalkanmu. Kombinasi bunyi-bunyi vocal (asonansi); a, e,I,o,u. menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama (efoni). Meski pun bait ini menceritkan niat untuk meninggalkan namun efek bunyi tetap memperkuat efek perasaan (mungkin kebosanan, mungkin saja ada rasa sayang), kegembiraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar