Malam menyisahkan gambar-gambar pudar pada
langit yang pecah karena hujan, sedang
air mata telah dikemas menjadi rahasia yang merdeka, begitulah Ririn
menggambarkan malam seperti sebuah
susunan sepi yang telah memerdekakannya dari kegembiraan, sepi yang setiap hari
memoles batinnya setiap mengingat wildan, sosok laki-laki yang pernah mengusik
hatinya untuk mengenal cinta dan kemudian ia menanamnya sebagai sebuah
kewajiban yang luhur. Lelaki yang sangat dia cintai meski mengharuskan ia pamit
empat tahun yang lalu. Wildan adalah buah hatinya sekaligus buah kedukaannya.
Wildan adalah segalanya yang memenuhi ruang-ruang jiwanya meski saat ini dia
menjalani kisah dengan piyu. Kadang ia berpikir kenapa wildan selalu menaungi
pikiran sampai ia begitu gelisah, bukankah ada piyu yang begitu perhatian dan
menampakan rasa cinta yang mendalam untuknya. Tapi bagaimana pun bayangan
wildan tak pernah terusik dari tiap resahnya meski ia membandingkannya dengan kebaikan-kebaikan
piyu.
Ririn kembali mengadu pada malam tentang
keajaiban-keajaiban cinta yang dulu sangat dibangga-banggakannya, namun
sekarang Ia semakin kabur tentangnya. “Apakah keajaiban itu ada dalam cinta,
atau tak ada sama sekali?” pertanyaan seperti itulah selalu berkecamuk pada
batinnya seperti pertarungan antara kebahagiaan dan penderitaan dan tinggal
menunggu siapa jadi pemenangnya. Dulu Ririn sangat percaya akan
keajaiban-keajaiban cinta tapi rasa percaya itu semakin terkikis, bahkan merasa
bahwa ia takkan menemukannya., walau bayangan wildan selalu menguasai seluruh
jiwanya tapi ia merasa takkan memilikinya, ”ah, dimana keajaiban itu berada?”.selalu
saja ada pertentangan itu dalam batinnya tentang percaya atau tidak pada
keajaiban cinta. Justru karena pergolakan jiwanya itulah membuat ia semakin
mengasah rasa rindu pada wildan meski telah empat tahun tak bersama tapi
mengalahkan kebersamaannya dengan piyu empat tahun ini, ia begitu sulit
melupakan wildan, bahkan disaat sekarang menjelang perkawinannya dengan piyu
rasa rindu dan cinta itu semakin besar. Sungguh rasa cinta itu sulitlah ia
pahami, kenapa rasa itu lahir dan kapan mesti berakhir?.
Malam semakin larut tanpa ada purnama, diluar
rinai hujan bersenandung seakan mengantarkan mimpi-mimpi, tapi Ririn malah
makin gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk salat tahajjud berharap memperoleh
ketenangan dari semua pergumulan batinnya. Ia kemudian berwudhu lalu salat,
setelah salat ia kemudian duduk pekur diatas sajadah berusaha menyebut nama
piyu berharap nama wildan segera terhapus karena bagaimanapun rasa cintanya
pada wildan itu takkan merubah apa-apa, bukankah sebentar lagi ia akan dimiliki
piyu?. tapi ia bingung karena malah kedua nama itu berulang-ulang dia sebut dan
justru nama wildanlah yang mendominasi batinnya. Dia akhirnya tak bisa menahan
rasa rindu, dia kemudian memutuskan untuk sms wildan dan menyampaikan apa yang
dirasakannya pada malam ini. “malam ini aku kembali duduk pekur diatas
sajadah sambil menyebut namanya dan namamu berulang-ulang dan kau dihatiku
berdamai dengan ketiadaan sedang aku perang dengan keikhlasan” begitulah
ungkapan hatinya yang ia sampaikan pada wildan walau ia tahu wildan mana peduli
sama dia. Bahkan Seminggu yang lalu ia menyampaikan pada dia tentang perkawinannya
dengan piyu tapi wildan malah terbahak-bahak, dia sedemikian bahagia
mendengarnya. lagi-lagi Ririn merasa sendiri. “Ririn-Ririn, kalau kau mengingat
kak wildan kau sendiri lagi Ririn” demikianlah bisikan batinnya berkecamuk. Kenapa
juga rasa cintanya sangat besar sedang wildan tak sedemikian mencintainya dan
mungkin sekarang ia tak mengingatnya lagi atau bahkan tidak mengakui dia
sebagai kenangan.
Ia kemudian mengingat empat tahun yang lalu,
bagaimana wildan mencintainya yang katanya mencintai dia dengan cinta yang
sederhana, ingat sms-smsnya yang jarang terbalas, Ririn ingat semuanya. Sampai
akhirnya ia memutuskan pamit karena pacaran dengan wildan sama halnya dengan
sendiri sampai ia sulit memahami kesederhanaan cinta yang ditawarkan oleh
wildan padanya. Ririn memutuskan mengakhirinya, bagaimana waktu itu ketika ia
sakit sampai tak siuman dalam dua hari dan saat diberi tahu siapa yang menjaganya, “ah, kak wildan
pacar saya justru kenapa kak piyu yang setia menjaga saya saat sakit” iya, piyu
,memang sangat memperhatikannya dan ia juga tahu bahwa piyu menyukainya tapi
awalnya ia menafikannya karena ia menjalani hubungan dengan wildan. Kejadian
waktu sakit itulah yang membuatnya merubah segala-galanya dan bahkan sampai
sekarang menyesalinya dan menganggap dirinya telah mempermulus takdir.
Ririn kembali mengenang saat ia terkapar dirumah
sakit dan tak sadarkan diri karena sakit kepala akut yang dideritanya, Ririn
memang sering mengalami sakit kepala akibat benturan waktu kecelakaan dulu saat
ia masih SMP dan berpengaruh sampai ia kuliah bahkan sampai sekarang ini. Ati
teman kuliah Ririn yang membawa dia kerumah sakit dan Ati hanya tahu bahwa piyulah
yang paling sering datang mengunjungi Ririn dikostnya, maka ia menghubunginya
untuk menemani Ririn dirumah sakit sambil menunggu orang tua Ririn dari
kampung. Disaat tak sadarkan diri itulah ia tak tahu begitu sayangnya piyu sama
dia. dan yang luarbiasanya saat orang tua Ririn datang ia mendapati anaknya
masih tak sadar dan didekat kepalanya piyu tertidur sambil duduk. Mama Ririn
tak suka melihat kejadian tersebut, ia tak senang anaknya didekati laki-laki,
meski saat itu tengah malam dan sementara hujan lebat, ibu Ririn tetap mengusir piyu.
Saat Ririn telah siuman ia sms widan, “kak,
saya sakit. Sekarang dirumah sakit” bukan main kecewanya Ririn membaca balasan
smsnya dari wildan. “iya, saya KKN (kuliah kerja nyata), jadi aku tak bisa
menjengukmu” wildan sama sekali tak peduli padanya, Tanya bagaimana keadaannya
sekarang pun tidak, seperti itukah cinta sederhana? Atau bertanyalah sakit apa,
orang tuamu telah datang atau tidak?. “ini orang mencintai saya atau tidak ya?”
semakin berkecamuk batin Ririn saat itu.
Piyu yang terusir malam itu dan kehujanan
akhirnya sakit, mama Ririn tahu akan hal itu dari Ati, ia akhirnya memanggil
piyu dan meminta maaf atas perlakuannya malam itu.
“Maaf kejadian malam itu nak, terus terang saya
tak suka ada laki-laki mendekati anak saya, aku ingin dia konsen pada
kuliahnya”
Piyu tahu kekhawatiran seorang orang tua akan
anaknya menjawabnya “ saya paham itu tante, iya saya memang menyukainya tapi
percayalah tante takkan terjadi apa-apa padanya, saya hanya menemaninya di
rumah sakit sambil menunggu tante datang dari kampung”. Sejak itulah
kepercayaan keluarga Ririn pada piyu mulai tertanam bahkan dia menitipkan Ririn
yang terkadang sakit-sakitan itu pada Piyu.
Ririn yang juga tahu kejadian tersebut dari Ati
merasa terenyuh, kak piyu sakit kehujanan karena diusir dari rumah sakit oleh
mamanya membuat dia kasihan, orang yang sama sekali tak punya hubungan apa-apa
selain seniornya dikampus rela menemaninya saat ia tak siuman, di usir lagi.
Dan itulah yang membuatnya menerima cinta dari piyu yang sebenarnya dari dulu
menyatakan perasaannya pada Ririn tapi ditolak karena hatinya telah dihuni oleh
wildan. Ririn menganggap tak apa memulai dengan piyu tanpa rasa cinta terlebih
dahulu, ia berharap cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi sekarang Ia menyadarinya
bahwa cinta itu tak lahir karena lamanya bersama, ternyata cinta itu munculnya
sesaat karena waktu tak mungkin bertanggung jawab untuk melahirkannya.
“ kak, saya pamit”
begitulah Ririn menyampaikan pada wildan tentang akhir hubungannya dengan
wildan dan memilih bersama piyu. Anehnya, wildan sama sekali tak punya usaha mempertahankan
hubungan itu, ia begitu mudah melepaskan dan itu membuat Ririn merasa sendiri,
“ah bersama kak wildan, aku selalu sendiri” begitu kata hatinya. Bahkan ia
begitu sakit dengan kata-kata wildan yang mengatakan, “pergilah ade, semoga kau
menemukan bahagia dihati yang lain. cinta itu memang selalu berakhir bersama
penghabisannya”.
Justru kata pamit itulah yang sampai sekarang
ini dia sesali, dan ia menganggap telah mempermulus takdir. Tapi mestikah ia
menyalahkan dirinya yang tak mampu membaca cinta dan cara mencinta wildan
kepadanya?. Atau kalau hari itu ia tak pamit dan sampai hari ini ia dan wildan
tetap sebagai sepasang kekasih, apakah ia merasa bahagia?. Terlalu banyak
kemungkinan-kemungkinan yang semakin tak ia pahami, tapi bagaimanapun ia menyesal
telah pamit dan beranjak dari cinta sederhananya wildan, meski dengan cinta
seperti itu ia tetap menemukan kebahagiaan walau lebih banyak sedihnya. Dan
sungguh menyesal itu tak ada guna, sejak ia pisah dengan wildan dan
menjalaninya dengan piyu, keluarganya dan keluarga piyu semakin akrab dan
merestui hubungan mereka sampai kedua keluarga itu sepakat mempertemukan Ririn
dan piyu dalam mahligai perkawinan dan Ririn tak sampai hati untuk menolak
perkawinan itu, karena kedua keluarga itu sudah terlanjur akrab.
Perkawinannya semakin dekat, Ririn makin
gelisah dan tak mungkin ia menentang takdir, kedua keluarga meraka sudah
menentukan harinya dan menganggap itu adalah kebahagiaan, wajar kalau dianggap
seperti itu, karena selama ini dia dan piyu adalah sepasang kekasih tapi
keluarga mereka tak tahu bahwa Ririn sebenarnya tak mencintai piyu sebagai
cinta yang sesungguhnya namun tak lebih karena kebaikan-kebaikan piyu yang
membuat dia mau menerimanya. Ririn hanya mampu bermain dalam kepasrahan dan
perang dengan keikhlasan antara ingin melupakan kenangan lama dan memolesnya
dengan kenangan baru. Namun yang ia takutkan adalah, “bisa tidak ya, aku jadi
istri yang baik?, dan berdosakah saya nantinya kalau dalam hati saya mencintai
seseorang dan orang itu bukan suami saya”.