Rabu, 26 Juni 2013

Cerpen: Mempermulus Takdir


Malam menyisahkan gambar-gambar pudar pada langit yang pecah karena hujan, sedang  air mata telah dikemas menjadi rahasia yang merdeka, begitulah Ririn menggambarkan malam seperti  sebuah susunan sepi yang telah memerdekakannya dari kegembiraan, sepi yang setiap hari memoles batinnya setiap mengingat wildan, sosok laki-laki yang pernah mengusik hatinya untuk mengenal cinta dan kemudian ia menanamnya sebagai sebuah kewajiban yang luhur. Lelaki yang sangat dia cintai meski mengharuskan ia pamit empat tahun yang lalu. Wildan adalah buah hatinya sekaligus buah kedukaannya. Wildan adalah segalanya yang memenuhi ruang-ruang jiwanya meski saat ini dia menjalani kisah dengan piyu. Kadang ia berpikir kenapa wildan selalu menaungi pikiran sampai ia begitu gelisah, bukankah ada piyu yang begitu perhatian dan menampakan rasa cinta yang mendalam untuknya. Tapi bagaimana pun bayangan wildan tak pernah terusik dari tiap resahnya meski ia membandingkannya dengan kebaikan-kebaikan piyu.
Ririn kembali mengadu pada malam tentang keajaiban-keajaiban cinta yang dulu sangat dibangga-banggakannya, namun sekarang Ia semakin kabur tentangnya. “Apakah keajaiban itu ada dalam cinta, atau tak ada sama sekali?” pertanyaan seperti itulah selalu berkecamuk pada batinnya seperti pertarungan antara kebahagiaan dan penderitaan dan tinggal menunggu siapa jadi pemenangnya. Dulu Ririn sangat percaya akan keajaiban-keajaiban cinta tapi rasa percaya itu semakin terkikis, bahkan merasa bahwa ia takkan menemukannya., walau bayangan wildan selalu menguasai seluruh jiwanya tapi ia merasa takkan memilikinya, ”ah, dimana keajaiban itu berada?”.selalu saja ada pertentangan itu dalam batinnya tentang percaya atau tidak pada keajaiban cinta. Justru karena pergolakan jiwanya itulah membuat ia semakin mengasah rasa rindu pada wildan meski telah empat tahun tak bersama tapi mengalahkan kebersamaannya dengan piyu empat tahun ini, ia begitu sulit melupakan wildan, bahkan disaat sekarang menjelang perkawinannya dengan piyu rasa rindu dan cinta itu semakin besar. Sungguh rasa cinta itu sulitlah ia pahami, kenapa rasa itu lahir dan kapan mesti berakhir?.
Malam semakin larut tanpa ada purnama, diluar rinai hujan bersenandung seakan mengantarkan mimpi-mimpi, tapi Ririn malah makin gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk salat tahajjud berharap memperoleh ketenangan dari semua pergumulan batinnya. Ia kemudian berwudhu lalu salat, setelah salat ia kemudian duduk pekur diatas sajadah berusaha menyebut nama piyu berharap nama wildan segera terhapus karena bagaimanapun rasa cintanya pada wildan itu takkan merubah apa-apa, bukankah sebentar lagi ia akan dimiliki piyu?. tapi ia bingung karena malah kedua nama itu berulang-ulang dia sebut dan justru nama wildanlah yang mendominasi batinnya. Dia akhirnya tak bisa menahan rasa rindu, dia kemudian memutuskan untuk sms wildan dan menyampaikan apa yang dirasakannya pada malam ini. “malam ini aku kembali duduk pekur diatas sajadah sambil menyebut namanya dan namamu berulang-ulang dan kau dihatiku berdamai dengan ketiadaan sedang aku perang dengan keikhlasan” begitulah ungkapan hatinya yang ia sampaikan pada wildan walau ia tahu wildan mana peduli sama dia. Bahkan Seminggu yang lalu ia menyampaikan pada dia tentang perkawinannya dengan piyu tapi wildan malah terbahak-bahak, dia sedemikian bahagia mendengarnya. lagi-lagi Ririn merasa sendiri. “Ririn-Ririn, kalau kau mengingat kak wildan kau sendiri lagi Ririn” demikianlah bisikan batinnya berkecamuk. Kenapa juga rasa cintanya sangat besar sedang wildan tak sedemikian mencintainya dan mungkin sekarang ia tak mengingatnya lagi atau bahkan tidak mengakui dia sebagai kenangan.
Ia kemudian mengingat empat tahun yang lalu, bagaimana wildan mencintainya yang katanya mencintai dia dengan cinta yang sederhana, ingat sms-smsnya yang jarang terbalas, Ririn ingat semuanya. Sampai akhirnya ia memutuskan pamit karena pacaran dengan wildan sama halnya dengan sendiri sampai ia sulit memahami kesederhanaan cinta yang ditawarkan oleh wildan padanya. Ririn memutuskan mengakhirinya, bagaimana waktu itu ketika ia sakit sampai tak siuman dalam dua hari dan saat  diberi tahu siapa yang menjaganya, “ah, kak wildan pacar saya justru kenapa kak piyu yang setia menjaga saya saat sakit” iya, piyu ,memang sangat memperhatikannya dan ia juga tahu bahwa piyu menyukainya tapi awalnya ia menafikannya karena ia menjalani hubungan dengan wildan. Kejadian waktu sakit itulah yang membuatnya merubah segala-galanya dan bahkan sampai sekarang menyesalinya dan menganggap dirinya telah mempermulus takdir.
Ririn kembali mengenang saat ia terkapar dirumah sakit dan tak sadarkan diri karena sakit kepala akut yang dideritanya, Ririn memang sering mengalami sakit kepala akibat benturan waktu kecelakaan dulu saat ia masih SMP dan berpengaruh sampai ia kuliah bahkan sampai sekarang ini. Ati teman kuliah Ririn yang  membawa dia  kerumah sakit dan Ati hanya tahu bahwa piyulah yang paling sering datang mengunjungi Ririn dikostnya, maka ia menghubunginya untuk menemani Ririn dirumah sakit sambil menunggu orang tua Ririn dari kampung. Disaat tak sadarkan diri itulah ia tak tahu begitu sayangnya piyu sama dia. dan yang luarbiasanya saat orang tua Ririn datang ia mendapati anaknya masih tak sadar dan didekat kepalanya piyu tertidur sambil duduk. Mama Ririn tak suka melihat kejadian tersebut, ia tak senang anaknya didekati laki-laki, meski saat itu tengah malam dan sementara hujan lebat, ibu Ririn tetap  mengusir piyu.  
Saat Ririn telah siuman ia sms widan, “kak, saya sakit. Sekarang dirumah sakit” bukan main kecewanya Ririn membaca balasan smsnya dari wildan. “iya, saya KKN (kuliah kerja nyata), jadi aku tak bisa menjengukmu” wildan sama sekali tak peduli padanya, Tanya bagaimana keadaannya sekarang pun tidak, seperti itukah cinta sederhana? Atau bertanyalah sakit apa, orang tuamu telah datang atau tidak?. “ini orang mencintai saya atau tidak ya?” semakin berkecamuk batin Ririn saat itu.
Piyu yang terusir malam itu dan kehujanan akhirnya sakit, mama Ririn tahu akan hal itu dari Ati, ia akhirnya memanggil piyu dan meminta maaf atas perlakuannya malam itu.
“Maaf kejadian malam itu nak, terus terang saya tak suka ada laki-laki mendekati anak saya, aku ingin dia konsen pada kuliahnya”
Piyu tahu kekhawatiran seorang orang tua akan anaknya menjawabnya “ saya paham itu tante, iya saya memang menyukainya tapi percayalah tante takkan terjadi apa-apa padanya, saya hanya menemaninya di rumah sakit sambil menunggu tante datang dari kampung”. Sejak itulah kepercayaan keluarga Ririn pada piyu mulai tertanam bahkan dia menitipkan Ririn yang terkadang sakit-sakitan itu pada Piyu.
Ririn yang juga tahu kejadian tersebut dari Ati merasa terenyuh, kak piyu sakit kehujanan karena diusir dari rumah sakit oleh mamanya membuat dia kasihan, orang yang sama sekali tak punya hubungan apa-apa selain seniornya dikampus rela menemaninya saat ia tak siuman, di usir lagi. Dan itulah yang membuatnya menerima cinta dari piyu yang sebenarnya dari dulu menyatakan perasaannya pada Ririn tapi ditolak karena hatinya telah dihuni oleh wildan. Ririn menganggap tak apa memulai dengan piyu tanpa rasa cinta terlebih dahulu, ia berharap cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi sekarang Ia menyadarinya bahwa cinta itu tak lahir karena lamanya bersama, ternyata cinta itu munculnya sesaat karena waktu tak mungkin bertanggung jawab untuk melahirkannya.
          “ kak, saya pamit” begitulah Ririn menyampaikan pada wildan tentang akhir hubungannya dengan wildan dan memilih bersama piyu. Anehnya, wildan sama sekali tak punya usaha mempertahankan hubungan itu, ia begitu mudah melepaskan dan itu membuat Ririn merasa sendiri, “ah bersama kak wildan, aku selalu sendiri” begitu kata hatinya. Bahkan ia begitu sakit dengan kata-kata wildan yang mengatakan, “pergilah ade, semoga kau menemukan bahagia dihati yang lain. cinta itu memang selalu berakhir bersama penghabisannya”.
Justru kata pamit itulah yang sampai sekarang ini dia sesali, dan ia menganggap telah mempermulus takdir. Tapi mestikah ia menyalahkan dirinya yang tak mampu membaca cinta dan cara mencinta wildan kepadanya?. Atau kalau hari itu ia tak pamit dan sampai hari ini ia dan wildan tetap sebagai sepasang kekasih, apakah ia merasa bahagia?. Terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang semakin tak ia pahami, tapi bagaimanapun ia menyesal telah pamit dan beranjak dari cinta sederhananya wildan, meski dengan cinta seperti itu ia tetap menemukan kebahagiaan walau lebih banyak sedihnya. Dan sungguh menyesal itu tak ada guna, sejak ia pisah dengan wildan dan menjalaninya dengan piyu, keluarganya dan keluarga piyu semakin akrab dan merestui hubungan mereka sampai kedua keluarga itu sepakat mempertemukan Ririn dan piyu dalam mahligai perkawinan dan Ririn tak sampai hati untuk menolak perkawinan itu, karena kedua keluarga itu sudah terlanjur akrab.

Perkawinannya semakin dekat, Ririn makin gelisah dan tak mungkin ia menentang takdir, kedua keluarga meraka sudah menentukan harinya dan menganggap itu adalah kebahagiaan, wajar kalau dianggap seperti itu, karena selama ini dia dan piyu adalah sepasang kekasih tapi keluarga mereka tak tahu bahwa Ririn sebenarnya tak mencintai piyu sebagai cinta yang sesungguhnya namun tak lebih karena kebaikan-kebaikan piyu yang membuat dia mau menerimanya. Ririn hanya mampu bermain dalam kepasrahan dan perang dengan keikhlasan antara ingin melupakan kenangan lama dan memolesnya dengan kenangan baru. Namun yang ia takutkan adalah, “bisa tidak ya, aku jadi istri yang baik?, dan berdosakah saya nantinya kalau dalam hati saya mencintai seseorang dan orang itu bukan suami saya”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar