Senin, 09 Desember 2013

Bentuk dan Isi Sastra Elong

Sastra Elong
A.       Kesusastraan Bugis Klasik
Menurut Mattulada, (1985:8-9) kesusastraan Bugis klasik bersumber dari panggaderreng (adat) yang pada awalnya berupa mantra dan kepercayaan mitologi yang ditulis dalam aksara lontara . Aksara lontara sendiri bersumber dari anggapan yang berpangkal dari kepercayaan dan pandangan mitologis Bugis-Makassar yang memandang alam ini sebagai Sulapa Eppaq Walasuji (segi empat belah ketupat). Bahwa alam ini adalah satu kesatuan yang dinyatakan dengan simbol sa yang berarti seua (tunggal atau Esa).
Sastra Bugis klasik dapat dilihat dari segi bentuk dan jenisnya. Pembagian bentuk dan jenis ini didasarkan pada konvensi yang berlaku pada karya sastra yang ada, sekaligus dengan periodisasi yang bisa ditarik menurut perkembangannya yang berlangsung dari waktu yang amat panjang, yaitu sekitar abad ke-7 hingga paruh pertama abad ke 20. Pustaka Bugis klasik terbagi dalam dua bagian yaitu pustaka yang tergolong karya sastra  (orang Bugis menyebutnya sureq) dan pustaka yang bukan sastra (lontaraq).
Pustaka Bugis klasik yang tergolong karya sastra terdiri dari beberapa bentuk, seperti  cerita rakyat atau legenda (puisi naratif atau wiracarita), dongeng, dan hikayat (Mattulada, 1980). Sastra Bugis klasik yang tergolong puisi terbagi lagi ke dalam tiga jenis, yang paling awal yaitu Galigo (puisi naratif) yang dibangun dengan pola kaki sajak lima atau empat suku kata yang secara konsisten membentuk larik dan ceritanya umumnya panjang. Sastra Galigo tergolong ke dalam mite (myth), yaitu cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang empunnya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau dunia yang biasa tidak kita kenal dan terjadi pada masa lampau.
Sesudah periode Galigo berakhir, muncul lagi bentuk sastra Bugis lain (juga tergolong puisi naratif) yang bentuknya berbeda dengan sastra Galigo, namun masih diilhami oleh sastra tersebut, terutama menyangkut tokoh, tema, serta setting ceritanya yang hampir bahkan boleh dikatakan sama dengan sastra Galigo. Hanya saja cerita jenis ini tidak lagi disucikan oleh masyarakat Bugis meskipun demikian cerita tersebut masih sangat dihargai dan dikagumi para tokohnya, bahkan makna atau pesan yang terkandung dalam cerita jenis ini masih berkaitan erat dengan ideologi atau pola kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bugis pada masanya. Dengan demikian, cerita jenis ini lebih tepat disebut legenda  yaitu sejenis cerita rakyat baik dalam bentuk puisi naratif maupun prosa yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Dilihat dari segi konvensi penulisannya cerita ini dibangun dengan pola kaki sajak delapan suku kata yang secara konsisten membentuk larik dan ceritanya pun pada umumnya panjang.
Setelah periode sastra legenda berakhir, muncul lagi sastra yang berbeda dengan jenis sastra sebelumnya, yaitu Galigo (mite) dan legenda. Sastra jenis ini disebut sastra toloq (juga tergolong puisi naratif). Sastra tolok ini dalam segala hal berbeda dengan sastra Galigo, namun dari segi konvensi tampaknya persis sama dengan sastra legenda, yaitu dibangun dengan pola kaki sajak delapan suku kata yang secara konsisten membentuk larik.  Perbedaan mencolok dari kedua jenis sastra sebelumnya terletak pada tokoh, setting cerita, dan peristiwa yang diceritakannya. Sastra tolok ini mengisahkan tokoh dan peristiwa historis yang sungguh-sungguh pernah terjadi, begitu pula tempat kejadiannya hingga hari ini masih dapat dilihat atau disaksikan. Cerita ini pada umumnya mengisahkan tentang perjuangan seorang raja atau tokoh tertentu yang berusaha mempertahankan kerajaan atau negerinya terhadap gangguan dari pihak luar. Dengan demikian, cerita jenis ini lebih tepat disebut sebagai epos (heroic poem). Sastra tolok ini pada dasarnya tergolong sastra sejarah sebab baik bahannya, setting, maupun para tokohnya merupakan cerita, setting, dan tokoh historis tetapi disusun dengan konvensi dan bahasa sastra. Meskipun demikian, orang Bugis memandangnya sebagai karya sastra murni dan bukan sejarah.
Selanjutnya, jenis sastra lainnya yang juga tergolong puisi yang muncul lebih kemudian adalah sastra elong. Sastra elong ini pun berbeda dari ketiga jenis sastra Bugis yang telah disebutkan di atas, elong merupakan pernyataan singkat yang hanya dengan satu atau beberapa bait saja sudah cukup mengungkapkan maknanya secara lengkap. Elong terdiri dari beberapa jenis, namum yang lebih banyak adalah yang terdiri dari tiga larik sebait. Masing-masing delapan, tujuh, dan enam suku kata, yang merupakan rangkaian beberapa bait namun jumlahnya tidak banyak. Sastra elong memang diakui menonjol unsur hiburannya, namun tidak pula berarti bahwa nilai sastranya diabaikan. Bagi penyair dan masyarakat Bugis, elong merupakan karya sastra yang mengandung unsur hiburan tetapi juga di dalamnya terkandung ajaran moral dan falsafah hidup manusia Bugis, juga kaya akan tema yang dibicarakannya.
Selain dari bentuk atau jenis sastra Bugis klasik yang tergolong puisi di atas, juga dikenal bentuk sastra Bugis asli lain yaitu pau-pau rikadong (dongeng). Sastra jenis ini pada umumnya singkat dan biasanya diceritakan pada malam hari sebagai pengantar  tidur atau pada suasana santai. Dan yang terakhir sastra jenis hikayat (dalam bentuk prosa), tetapi sastra hikayat ini bukanlah sastra Bugis asli melainkan pengaruh atau saduran dari sastra Melayu lama. Hanya saja penyair Bugis menyesuaikannya dengan suasana serta selera mereka seperlunya sehingga tampak seperti sastra Bugis asli.
B.        Bentuk dan Isi Sastra Elong
Elong, menurut Ishak Ngeljaratan (Nurhayati Rahman, 2009;13) apabila diterjemahkan secara leksikal, artinya adalah nyanyian, suatu bentuk puisi yang populer dalam masyarakat Bugis. Puisi elong biasa dinyanyikan sehingga menjadi populer, atau masyarakat lewat melagukannya.
Elong merupakan pernyataan singkat yang hanya dengan satu atau beberapa bait saja sudah cukup mengungkapkan maknanya secara lengkap. Elong terdiri dari beberapa jenis, namun yang lebih banyak adalah yang terdiri dari tiga larik sebait. Masing-masing delapan, tujuh, dan enam suku kata, yang merupakan rangkaian beberapa bait namun jumlahnya tidak banyak. Sastra elong memang diakui menonjol unsur hiburannya, namun tidak pula berarti bahwa nilai sastranya diabaikan. Bagi penyair dan masyarakat Bugis, elong merupakan karya sastra yang mengandung unsur hiburan tetapi juga di dalamnya terkandung ajaran moral dan falsafah hidup manusia Bugis, juga kaya akan tema yang dibicarakannya.
Hasil-hasil kesusastraan Bugis yang berupa elong mempunyai bentuk dan isi yang agak berbeda dengan bentuk puisi klasik dalam beberapa bahas di Nusantara lainnya. Meskipun menurut beberapa pakar kesusastraan Bugis mengatakan bahwa struktur elong lebih banyak dipengaruhi oleh pantun melayu namun kalau pantun melayu mempunyai sampiran sedangkan elong merupakan suatu kesatuan ungkapan langsung.
Dahulu dalam sekian upacara adat seperti perkawinan, syukuran untuk hasil panen, dan lain-lainnya di pedalaman tanah Bugis adakalanya puisi-puisi bugis dinyanyikan atau di ucapkan untuk menyemarakkan suasana. Seperti dikemukakan diatas bahwa puisi Bugis terdiri dari tiga baris masing-masing terdiri dari delapan, tujuh, enam suku kata. Contoh;

Rek-ku-a ma-ru’-da-ni-k (8)                bila engkau rindu
     co-nga’-ko ri-keteng-nge (7)               tengadalah ke bulan
     ta-si-du-ppa ma-ta (6)                         kita bertemu pandang

Puisi diatas adalah puisi yang isinya biasa-biasa saja yaitu mengikuti arti kata. Akan tetapi sebagian besar puisi-puisi klasik bugis memindahkan arti kata dalam artian lain yang baru dapat dipahami bila arti seluruh kalimat disimpulkan kedalam suatu pengertian baru. Dalam pengertian baru itu akan diperoleh bentuk yang menyimpang sama sekali dari logatnya (katanya). Berikut contoh yang dimaksud;
Temmasiri’ kajompie                   tak bermalu si kacang panjang
Taniattaro jelle’                           bukan ia memasang jenjangan
Naia makkalu                              tetapi dia yang melingkar
Kiasan akan tumbuhan yang melingkar, merambati jenjangan yang bukan ia sendiri memasangnya ditujukan kepada seseorang yang memetik hasil sesuatu yang bukan usahanya sendiri.
Dua kuala sappo                     dua kujadikan pagar
Unganna panasae                   bunga nangka
Belo kanukue                           hiasan kuku
“Dua kujadikan pagar”. Pagar selalu dianggap pembatasan atau penentuan kepunyaan atau penjaga diri. Dua hal yang dijadikan penjaga diri, “bunga nangka” tidak mungkin bunga nangka dijadikan pagar terhadap diri kita, maka harus dicari lebih jauh bunga panasa (buah nangka) dalam bahasa bugis sama artinya dengan kata lempu. Kata ini bila diucapkan dengan memberikan tekanan pada akhir suku kata akan berarti jujur sehingga dapat diberi arti kejujuran. Sedangkan kata belo kanuku atau hiasan kuku dalam sinonimnya dalam bahasa bugis belo kanuku adalah alat untuk menghiasi atau mencerahkan kuku, dalam bahasa bugis disebut paccing yang dapat berarti bersih, suci dan tidak bernoda. Jadi kita bisa menyusun penafsirannya yaitu, dua hal yang saya jadikan penjaga diri yaitu kejujuran dan kesucian.
Manyaimui meleqmu (8)                     berhati-hatilah menyimpan harapanmu
Tabbollo berreq ammi  (7)                   agar tidak tertumpah bagai beras
Napittoq I manuq (6)                          lalu ditotok ayam
Elong diatas mudah untuk di pahami, Contoh lain yang bersifat teka-teki dan membutuhkan penalaran sebagai berikut;
Ia teppaja kusappa                              yang selalu kucari
Rappanna ri alae                                bagai yang dijadikan
Pallangga mariang                             penopang meriam
Yang menjadi teka-teki dalam puisi ini adalah “yang dijadikan penopang meriam” alas meriap di zaman lampau adalah roda yang memungkinkan meriam dipindahkan kemana-mana. Roda dalam bahasa Bugis disebut padati. Padati adalah paduan dua kata dalam bahasa Bugis yaitu pada dan ati (pada-ati) yang berarti sehati atau setia kawan. Maka puisi ini dapat diartikan, yang selalu kucari seorang (sahabat, kekasih).



Daftar Bacaan
Kern. R.A, 1993. I LA GALIGO; Cerita Bugis kuno. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press
Mattulada.1985. LATOA; Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yokyakarta; Gadjah Mada University Press
Rahman, Nurhayati. 2009. Kearifan Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Paloe. Makassar: La Galigo Press.

Tang, Muhammad Rapi. 1999. Saat Diturunkannya Batara Guru (dalam Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat) Editor Nurhayati Rahman & Sri Sukesi Adiwinarta. Jakarta: Obor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar