Sastra
Elong
A.
Kesusastraan
Bugis Klasik
Menurut Mattulada, (1985:8-9) kesusastraan Bugis klasik bersumber
dari panggaderreng (adat) yang pada
awalnya berupa mantra dan kepercayaan mitologi yang ditulis dalam aksara
lontara . Aksara lontara sendiri bersumber dari anggapan yang berpangkal dari
kepercayaan dan pandangan mitologis Bugis-Makassar yang memandang alam ini
sebagai Sulapa Eppaq Walasuji (segi
empat belah ketupat). Bahwa alam ini adalah satu kesatuan yang dinyatakan
dengan simbol sa yang berarti seua (tunggal atau Esa).
Sastra
Bugis klasik dapat dilihat dari segi bentuk dan jenisnya. Pembagian bentuk dan
jenis ini didasarkan pada konvensi yang berlaku pada karya sastra yang ada,
sekaligus dengan periodisasi yang bisa ditarik menurut perkembangannya yang
berlangsung dari waktu yang amat panjang, yaitu sekitar abad ke-7 hingga paruh
pertama abad ke 20. Pustaka Bugis klasik terbagi dalam dua bagian yaitu pustaka
yang tergolong karya sastra (orang Bugis menyebutnya sureq) dan pustaka yang bukan
sastra (lontaraq).
Pustaka
Bugis klasik yang tergolong karya sastra terdiri dari beberapa bentuk,
seperti cerita rakyat atau legenda
(puisi naratif atau wiracarita), dongeng,
dan hikayat (Mattulada, 1980). Sastra Bugis klasik yang
tergolong puisi terbagi lagi ke dalam tiga jenis, yang paling awal yaitu Galigo (puisi naratif) yang dibangun
dengan pola kaki sajak lima atau empat suku kata yang secara konsisten
membentuk larik dan ceritanya umumnya panjang. Sastra Galigo tergolong ke dalam mite
(myth), yaitu cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan
dianggap suci oleh yang empunnya cerita. Mite
ditokohi oleh para dewa atau mahluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia
lain atau dunia yang biasa tidak kita kenal dan terjadi pada masa lampau.
Sesudah
periode Galigo berakhir, muncul lagi
bentuk sastra Bugis lain (juga tergolong puisi naratif) yang bentuknya berbeda
dengan sastra Galigo, namun masih diilhami oleh sastra
tersebut, terutama menyangkut tokoh, tema, serta setting ceritanya yang hampir
bahkan boleh dikatakan sama dengan sastra
Galigo. Hanya saja cerita jenis ini tidak lagi disucikan oleh masyarakat Bugis meskipun demikian cerita tersebut
masih sangat dihargai dan dikagumi para tokohnya, bahkan makna atau pesan yang
terkandung dalam cerita jenis ini masih berkaitan erat dengan ideologi atau
pola kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bugis pada masanya. Dengan
demikian, cerita jenis ini lebih tepat disebut legenda yaitu sejenis cerita
rakyat baik dalam bentuk puisi naratif maupun prosa yang dianggap oleh yang
empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Dilihat dari segi konvensi
penulisannya cerita ini dibangun dengan pola kaki sajak delapan suku kata yang secara konsisten membentuk larik dan
ceritanya pun pada umumnya panjang.
Setelah
periode sastra legenda berakhir,
muncul lagi sastra yang berbeda dengan jenis sastra sebelumnya, yaitu Galigo (mite) dan legenda. Sastra jenis ini disebut sastra toloq (juga
tergolong puisi naratif). Sastra tolok
ini dalam segala hal berbeda dengan sastra
Galigo, namun dari segi konvensi tampaknya persis sama dengan sastra legenda, yaitu dibangun dengan
pola kaki sajak delapan suku kata
yang secara konsisten membentuk larik.
Perbedaan mencolok dari kedua jenis sastra sebelumnya terletak pada
tokoh, setting cerita, dan peristiwa yang diceritakannya. Sastra tolok ini mengisahkan tokoh dan
peristiwa historis yang sungguh-sungguh pernah terjadi, begitu pula tempat
kejadiannya hingga hari ini masih dapat dilihat atau disaksikan. Cerita ini
pada umumnya mengisahkan tentang perjuangan seorang raja atau tokoh tertentu
yang berusaha mempertahankan kerajaan atau negerinya terhadap gangguan dari
pihak luar. Dengan demikian, cerita jenis ini lebih tepat disebut sebagai epos (heroic poem). Sastra tolok
ini pada dasarnya tergolong sastra sejarah sebab baik bahannya, setting, maupun
para tokohnya merupakan cerita, setting, dan tokoh historis tetapi disusun
dengan konvensi dan bahasa sastra. Meskipun demikian, orang Bugis memandangnya
sebagai karya sastra murni dan bukan sejarah.
Selanjutnya,
jenis sastra lainnya yang juga tergolong puisi yang muncul lebih kemudian
adalah sastra elong. Sastra elong ini pun berbeda dari ketiga jenis
sastra Bugis yang telah disebutkan di atas, elong
merupakan pernyataan singkat yang hanya dengan satu atau beberapa bait saja
sudah cukup mengungkapkan maknanya secara lengkap. Elong terdiri dari beberapa jenis, namum yang lebih banyak adalah
yang terdiri dari tiga larik sebait. Masing-masing delapan, tujuh, dan enam suku kata, yang merupakan rangkaian
beberapa bait namun jumlahnya tidak banyak. Sastra elong memang
diakui menonjol unsur hiburannya, namun tidak pula berarti bahwa nilai
sastranya diabaikan. Bagi penyair dan masyarakat Bugis, elong merupakan karya sastra yang mengandung unsur hiburan tetapi
juga di dalamnya terkandung ajaran moral dan falsafah hidup manusia Bugis, juga
kaya akan tema yang dibicarakannya.
Selain
dari bentuk atau jenis sastra Bugis klasik yang tergolong puisi di atas, juga
dikenal bentuk sastra Bugis asli lain yaitu pau-pau
rikadong (dongeng). Sastra jenis ini pada umumnya singkat dan biasanya
diceritakan pada malam hari sebagai pengantar
tidur atau pada suasana santai. Dan yang terakhir sastra jenis hikayat (dalam bentuk prosa), tetapi sastra hikayat ini bukanlah sastra Bugis
asli melainkan pengaruh atau saduran dari sastra Melayu lama. Hanya saja penyair Bugis
menyesuaikannya dengan suasana serta selera mereka seperlunya sehingga tampak
seperti sastra Bugis asli.
B.
Bentuk
dan Isi Sastra Elong
Elong, menurut
Ishak Ngeljaratan (Nurhayati Rahman, 2009;13) apabila diterjemahkan secara
leksikal, artinya adalah nyanyian, suatu bentuk puisi yang populer dalam
masyarakat Bugis. Puisi elong biasa
dinyanyikan sehingga menjadi populer, atau masyarakat lewat melagukannya.
Elong
merupakan pernyataan singkat yang hanya dengan satu atau beberapa bait saja
sudah cukup mengungkapkan maknanya secara lengkap. Elong terdiri dari beberapa jenis, namun yang lebih banyak adalah yang terdiri dari tiga larik
sebait. Masing-masing delapan, tujuh, dan
enam suku kata, yang merupakan rangkaian beberapa bait namun jumlahnya
tidak banyak. Sastra elong memang diakui menonjol unsur
hiburannya, namun tidak pula berarti bahwa nilai sastranya diabaikan. Bagi
penyair dan masyarakat Bugis, elong
merupakan karya sastra yang mengandung unsur hiburan tetapi juga di dalamnya
terkandung ajaran moral dan falsafah hidup manusia Bugis, juga kaya akan tema
yang dibicarakannya.
Hasil-hasil kesusastraan
Bugis yang berupa elong mempunyai bentuk dan isi yang agak berbeda dengan
bentuk puisi klasik dalam beberapa bahas di Nusantara lainnya. Meskipun menurut
beberapa pakar kesusastraan Bugis mengatakan bahwa struktur elong lebih banyak dipengaruhi oleh
pantun melayu namun kalau pantun melayu mempunyai sampiran sedangkan elong merupakan suatu kesatuan ungkapan
langsung.
Dahulu dalam sekian upacara
adat seperti perkawinan, syukuran untuk hasil panen, dan lain-lainnya di
pedalaman tanah Bugis adakalanya puisi-puisi bugis dinyanyikan atau di ucapkan
untuk menyemarakkan suasana. Seperti dikemukakan diatas bahwa puisi Bugis
terdiri dari tiga baris masing-masing terdiri dari delapan, tujuh, enam suku
kata. Contoh;
Rek-ku-a ma-ru’-da-ni-k (8) bila engkau rindu
co-nga’-ko ri-keteng-nge
(7) tengadalah ke bulan
ta-si-du-ppa ma-ta (6) kita bertemu pandang
Puisi diatas adalah puisi
yang isinya biasa-biasa saja yaitu mengikuti arti kata. Akan tetapi sebagian
besar puisi-puisi klasik bugis memindahkan arti kata dalam artian lain yang
baru dapat dipahami bila arti seluruh kalimat disimpulkan kedalam suatu
pengertian baru. Dalam pengertian baru itu akan diperoleh bentuk yang
menyimpang sama sekali dari logatnya (katanya). Berikut contoh yang dimaksud;
Temmasiri’ kajompie tak
bermalu si kacang panjang
Taniattaro jelle’ bukan
ia memasang jenjangan
Naia
makkalu tetapi
dia yang melingkar
Kiasan akan tumbuhan yang melingkar, merambati jenjangan yang bukan
ia sendiri memasangnya ditujukan kepada seseorang yang memetik hasil sesuatu
yang bukan usahanya sendiri.
Dua kuala sappo dua kujadikan pagar
Unganna panasae bunga nangka
Belo kanukue hiasan kuku
“Dua kujadikan pagar”. Pagar selalu dianggap pembatasan atau
penentuan kepunyaan atau penjaga diri. Dua hal yang dijadikan penjaga diri,
“bunga nangka” tidak mungkin bunga nangka dijadikan pagar terhadap diri kita,
maka harus dicari lebih jauh bunga panasa
(buah nangka) dalam bahasa bugis sama artinya dengan kata lempu. Kata ini bila diucapkan dengan
memberikan tekanan pada akhir suku kata akan berarti jujur sehingga dapat
diberi arti kejujuran. Sedangkan kata belo
kanuku atau hiasan kuku dalam sinonimnya dalam bahasa bugis belo kanuku adalah alat untuk menghiasi
atau mencerahkan kuku, dalam bahasa bugis disebut paccing yang dapat berarti bersih, suci dan tidak bernoda. Jadi
kita bisa menyusun penafsirannya yaitu, dua hal yang saya jadikan penjaga diri
yaitu kejujuran dan kesucian.
Manyaimui meleqmu (8) berhati-hatilah
menyimpan harapanmu
Tabbollo berreq ammi (7) agar tidak tertumpah bagai
beras
Napittoq I manuq (6) lalu ditotok ayam
Elong diatas mudah untuk di pahami, Contoh lain yang bersifat
teka-teki dan membutuhkan penalaran sebagai berikut;
Ia teppaja kusappa yang selalu kucari
Rappanna ri alae bagai yang dijadikan
Pallangga mariang penopang meriam
Yang menjadi teka-teki dalam puisi ini adalah “yang dijadikan
penopang meriam” alas meriap di zaman lampau adalah roda yang memungkinkan
meriam dipindahkan kemana-mana. Roda dalam bahasa Bugis disebut padati. Padati adalah paduan dua kata
dalam bahasa Bugis yaitu pada dan ati (pada-ati) yang berarti sehati atau
setia kawan. Maka puisi ini dapat diartikan, yang selalu kucari seorang
(sahabat, kekasih).
Daftar Bacaan
Kern. R.A, 1993. I LA GALIGO; Cerita Bugis kuno. Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press
Mattulada.1985. LATOA; Suatu
Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yokyakarta;
Gadjah Mada University Press
Rahman, Nurhayati. 2009. Kearifan
Lingkungan Hidup Manusia Bugis Berdasarkan Naskah Meong Paloe. Makassar: La
Galigo Press.
Tang, Muhammad Rapi. 1999. Saat
Diturunkannya Batara Guru (dalam Antologi Sastra Daerah Nusantara:
Cerita Rakyat Suara Rakyat) Editor Nurhayati Rahman & Sri Sukesi
Adiwinarta. Jakarta: Obor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar