Senin, 09 Desember 2013

Keseragaman Historiografi Tradisional serta Fungsinya; Pada Episode “Saat di Turunkannya Batara Guru” dalam Epos La Galigo

Keseragaman Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah penulisan sejarah yang dibuat secara tradisional. Setiap kebudayaan di dunia selalu melewati fase tradisional itu termasuk Indonesia, bahkan di Indonesia sendiri penulisan historiografi tradisional sangat menonjol. Sejarah bukan hanya fakta-fakta belaka tetapi sejarah adalah sebuah cerita. Historiografi tradisional cenderung di dominasi oleh aspek magis religius yang pengkisahnya tidak selalu diketahui secara pasti. Kisah sejarah pada masa itu merupakan milik kolektif dari kelompok sosial yang menghasilkannya.
   Menurut bentuknya, historiografi tradisional dapat dikategorikan; bentuk mitos, bentuk genealogis, bentuk kronik, dan bentuk annals. Disamping bentuk tersebut, historiografi tradisional cenderung memiliki keseragaman.  Historiografi tradisional di Indonesia memiliki keseragaman sebagian berikut;
1.     Genealogi yang merupakan permulaan dari semua penulisan sejarah
2.     Asal usul rajakula yang mithis-legendaris, yang merupakan bagian terpenting.
3.     Mitologi melayu polinesia tentang perkawinan dengan bidadari
4.     Legenda pembuangan anak
5.     Tendensi menjunjung tinggi rajakulanya.
Berikut contah naskah epos I La Galigo suatu hasil kesusastraan Bugis klasik  yang akan di jadikan bahan kajian untuk menemukan keseragaman tersebut:
 “Mula riulona batara guru” (saat diturunkannya Batara Guru)
Di Langit tertinggi yaitu pada lapisan langit ketujuh menurut kepercayaan Bugis kuna, di sanalah bertahta Sang Dewata Patotoqe (sang penentu nasib) bersama istri dan anak-anaknya. Mereka hidup bahagia dan tenteram sebagai penguasa Tunggal. Pada suatu saat, ketika sang surya mulai menampakkan sinarnya terbangunlah Patotoqe dari tidurnya di istana Sao Kuta Boting Langi. Ketika Sang Dewata menoleh ke pekarangan istana seraya menyaksikan latihan perang-perangan antara La Tau Panceq dengan La Tau Buleng, dilihat-Nya pula gelanggang sabungan kosong dan para penjaga ayam tidak di tempat, murkalah Patotoqe seraya bertanya apa gerangan yang menyebabkan sehingga penjaga ayam sabungan-Nya meninggalkan tugasnya. Saat Patotoqe sedang marah, para penjaga ayam  itu pun sudah tiba, setelah ditanya dari mana gerangan mereka sehingga ayam kesayangan-Nya ditinggalkan begitu saja, maka menjawablah Ruma Makkompong dan Sangiang Mpajung bersaudara, Patik datang di kolom langit di tepi Peretiwi menurunkan topan dan mengadu petir dan tidaklah ada nian menyembah kepada Batara. Tak apalah gerangan Tuanku menurunkan seorang keturunan untuk menjelma di muka bumi. Maka menjawablah Sri Paduka Batara bahwa biarlah aku naik ke istana Sao Kuta Pareppaqe menyampaikan kepada Bunda La Rumpang Megga, sebab atas izin Datu Palingeqlah baru bisa ditempatkan keturunan di kolong langit. Seraya mempertimbangkan laporan para pati pengawal.
Maka berangkatlah Patotoqe naik  ke istana  berselimutkan   sarung   kemilau  bagaikan  bulan di langit dan diiringi oleh Raja dari Wawo Langiq serta diramaikan oleh bangsawan dari Coppoq Meru. Patotoqe menaiki tangga, melangkahi ambang pintu kemudian masuk melalui sekat tengah menyusuri dua ratus lima puluh petak Istana Sao Kuta hingga sampai  di hadapan Wanita beladiannya. Berakatalah Patotoqe kepada Sang Permaisuri bahwa sebaiknya wahai adik Datu Palingeq kita turunkan anak kita untuk berkuasa di bumi agar  tidak tetap kosong. Kita bukanlah Dewata, wahai adinda, apabila tak satu pun orang di kolong langit menyeru tuan kepada Batara.Setelah mendengar perkataan suaminya maka berkatalah Datu Palingeq bahwa  jika engkau bermaksud menurunkan tunas ke dunia, siapa gerangan yang berani membantah kehendak-Mu.
Atas kesepakatan Patotoqe dengan istrinya maka dikirimlah utusan ke Toddang Toja (kerajaan saudara Patotoqe di dunia bawah) untuk mengundang adik-Nya serta sanak saudara untuk berkumpul di Kerajaan Langit. Belum selesai ucapan Patotoqe dicabutlah segera palang pintu batara langit lalu diturunkan pelangi tujuh warna disertai guntur sahut-menyahut. Berangkat pulalah segera para utusan Patotoqe turun mengantar undangan dan sesampainya di Toddang Toja, menghadaplah Rukkelleng Mpoba bersama Ruma Makkompong kepada Sinauq Toja penguasa Peretiwi (saudara Patotoqe) bersama istri guna menyampaikan perihal undangan saudaranya ke Boting Langit.  Melihat kedatangan utusan saudara-Nya, bertanyalah Sinauq Toja suami-istri perihal apa gerangan yang disuruhkan saudara-Nya. Menjawablah Rukkelleng Mpoba dan Ruma   Makkompong     kepada   tuannya Sinauq  Toja bahwa Kakanda Tuanku menghendaki kiranya Tuanku bersama istri naik ke Boting Langiq. Sang dewata Patotoqe bermaksud menurunkan putranya di Ale Lino (pusat bumi). Sebab dia menganggap dirinya bukanlah dewata apabila tak seorang pun menyembah kepada-Nya dan menadahkan tangan ke Peretiwi. Setelah selesai menghadap dan setelah Sinauq Toja menerima dan menyetujui undangan kakak-Nya, mohon pamitlah utusan tersebut lalu meneruskan perjalanan menuju ke tempat sepupu sekalinya yaitu To Bala Unynyiq dan kemanakannya di Senrijawa yang bernama Senneq Batara. Setelah melaksanakan perintah Patotoqe maka utusan itu kembali ke Boting Langiq melapor. Setelah tiba saat yang ditentukan yakni saat bulan purnama raya, maka berangkatalah Guru Riselleq, Sangka Malewa, Sinrang Mpatara, Senneq Batara dan rombongan ke Boting Langiq yang diantar oleh guntur, diiringi kilat dan petir. Sebelum sampai di Boting Langit, Guru Riselleq beserta rombongan melewati kerajaan anak-anak Patotoqe,  Leteng Nriuq kerajaan Balasangriuq, juga melewati Mallimongeng kerajaan I La Sangdiang, Langku-langku kerajaan Aji Pawewang, Mallagenni kerajaan Aji Tellino, Limpo Majang kerajaan  Sangdiang Kapang, Wawo Unruq kerajaan La Rumpang Megga. Semua kerajaan yang dilewati Guru Risellek dia selalu bertegur sapa dengan semua kemanakannya sebelum melanjutkan perjalanannya. Setelah melewati kerajaan Wawo Unruq, matahari masih pada tempatnya tibalah Guru Risellek  dan rombongan  di Boting Langiq  dibukakanlah  pintu  halilintar  penutup  langit.
Setelah memasuki batas wilayah pagar halilintar maka segenap penjaga istana serempak bangkit menghalangi tiada memperkenankan Guru Riselleq beserta rombongan memasuki istana petir kediaman Patotoqe. Melihat orang bukan penghuni langit maka bangkitlah Paddengngengnge, Paresolae, To Alebboreng, Pulakalie, I La Sualang, I La Becociq penjaga pagar guruh, datang pula menyerbu burung hantu, setan, bersama ular berbisa dan lipan raksasa penjaga istana Sao Kuta kediaman Patotoqe. Melihat gelagak yang tidak menyenangkan dari para pengawal istana tersebut, meludahlah sembari berkata yang dipertuan di Toddang Toja bahwa lancang benar kalian orang Sunra tidak memperkenankan rombonganku memasuki paga halilintar. Tidakkah kalian tahu kalau aku saudara Patotoqe. Seorang tinggal di Boting Langiq berkuasa di Ruallette dan seorang turun ke Toddang Toja menjadi raja di Peretiwi. Kalian lancang tidak memperkenankan rombonganku memasuki pagar istana petir. Gemetarlah seluruh badan orang Sunra dan seluruh penjaga istana seraya berkata bahwa Tuan kita rupanya yang berkuasa di Peretiwi, kita telah lancang tak membdiarkan mereka memasuki pagar istana halilintar.  Setelah Guru Riselleq beserta istri dan rombongan memasuki pekarangan istana,  mereka langsung dijemput oleh ribuan dayang-dayang sambil memegang talam emas berisi bertih.
Sujud menyembah seraya berkata bangsawan dari Abang bahwa  Patotoqe beserta istri menghendaki agar Tuanku naik ke istana Sao Kuta Pareppaqe. Dengan malas Sinauq Toja membuka mulut dia berkata bahwa tidak pantas perbuatan yang dilakukan  orang  Sunra  pengawal  istana kepadanya. Dia menyampaikan bahwa sedari tadi seharusnya mereka beristirahat di balairung kakanda-Nya. Berpaling bangsawan orang Abang menunjuki penjaga paga istana petir serentak keduanya berkata bahwa bersedialah engkau dihukum di bawah pohon asam atas keangkuhanmu. Setelah itu, berangkatlah Sinauq Toja dan Guru Riselleq raja Peretiwi memasuki pagar istana halilintar bersama rombongan, ditaburi bertih keemasan sebagai tanda penyambutan. Guru Riselleq beserta istri dan rombongan menginjakkan kaki di tangga, kemudian naik dipegangkan susuran, melangkahi ambang pintu, terus menyusuri lantai papan guruh. Didapatinya sedang duduk bersimpuh berhimpitan para bangsawan Abang  dibukakanlah jalan untuk dilewati oleh raja dari Peretiwi dengan terlebih dahulu harus menyusuri dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta untuk sampai ke bilik peristirahatan saudaranya.
Setelah tiba di ruang peristirahatan Patotoqe, dengan penuh rasa haru dan suka cita Guru Riselleq berdiri termenung lalu memandang kesekeliling ruang dan menyaksikan sepupu sekali dan kemanakannya duduk berhimpitan. Bagaikan halilintar suara terdiakan Sinrang Mpatara beserta rombongan memekakkan telinga, di bagian utara dilihatnya peterana istana yang diduduki To Palanroe, bagaikan orang yang menikmati madu rasa hatinya penguasa Lapiq Tana memandang saudaranya. Saling bertegur sapa dengan penuh kemesraan di atas peterana guruh. Sembari menengadah Patotoqe mempersilakan Guru Riselleq, To Akkarodda, Sinauq Toja, kaldian duduk di peterana guruh. Sinauq Toja pun naik duduk di atas peterana gumawan bertindih paha dengan To Palanroe.
Setelah semuanya duduk ditempat yang telah disediakan, maka berkata To Palanroe bersama istrinya bahwa ada pun paduka adinda dan seluruh sepupu dipanggil naik ke langit untuk dmintai pendapatnya perihal keinginan Patotoqe menempatkan keturunan sebagai penguasa di bumi. Patotoqe juga menyampaikan kepada adiknya bahwa dunia tidak boleh kosong karena kita bukanlah dewata kalau tak ada orang yang menghuni dunia menyembah kepada Batara. Setelah kita sepakat kita bersaudara bersama sepupu sekali, barulah kita sama menempatkan keturunan di bumi. Serentak mereka berkata seluruh bangsawan tinggi bahwa sekiranya Sang Batara menghendaki demikdian maka tentulah seluruh keluarga akan merestuinya. Guru Riselleq mengatakan bahwa bagiku amatlah baik menempatkan di kolong langit menurunkan anak dewata menjelma. Anak kakandalah seorang yang diturunkan, sedang keturunan kami mengapa tidak kakanda pertimbangkan nasibnya. Patotoqe lalu bertanya berapa sebenarnya anak adiknya, dan Guru Riselleq menjawab bahwa anaknya ada sembilan orang dan semuanya telah dipersiapkan untuk menduduki tahta kerajaannya masing-masing di dunia bawah (Peretiwi). Setelah menjelaskan perihal anaknya, Guru Riselleq pun balik bertanya pada kakaknya perihal anak-anaknya, dan Patotoqe pun menjelaskan bahwa anaknya pun ada sembilan orang yang kesemuanya juga telah dipersipkan untuk menduduki tahta kerajaannya masing-masing di Boting Langiq.
Patotoqe bermusyawarah dengan alot bersama istrinya perihal siapa gerangan di antara anaknya yang cocok diturunkan ke bumi menjadi penguasa. Setelah pembicaraan Patotoqe bersama istrinya mengalami jalan buntu akibat kesulitan menentukan pilihan, hampir sepetanak nasi To Palanroe duduk melayangkan pikiran kdian kemari dengan perasaan yang kalut. Lama berselang barulah Patotoqe menoleh sembari berkata bahwa bdiarlah kita turunkan Batara Guru anak sulung kita ke permukaan bumi, wahai adinda Datu Palingeq. Setelah melalui persetujuan bersama maka sampailah pada putusan terakhir bahwa anak sulungnyalah yang bernama Batara Guru yang pantas diutus turun menjadi penguasa di bumi. Patotoqe lalu berpaling bertanya kepada adindanya siapa gerangan keturunanmu yang akan dimunculkan atau dinaikkan menjelma di bumi. Menjawab Sinauq Toja dan Guru Riselleq bahwa anak sulungnya yang bernama We Nyiliq Timoq yang akan dinaikkan dari Peretiwi.
Setelah Patotoqe dan Guru Riselleq menentukan anaknya yang akan dikirim ke bumi, maka disusullah kemudian oleh para sepupu sekalinya dilangit semua sama menyebutkan keturunannya yang dipersiapkan turun ke dunia. Demikdian pula sebaliknya para pembesar pendamping di Peretiwi yang dia persiapkan muncul di dunia. Sambil menangis To Palanroe menyuruh La Toge Langiq putra kesayangan-Nya masuk ke dalam mandi berlangir lalu bersiap-siap turun ke bumi. Ketika Batara Guru mendengar ucapan Ayahandanya, tak satu pun kata mempu diucapkan kecuali termenung sembari merenungi nasibnya. Menghadaplah seraya menyembah Sangka Batara  dan To Tenrioddang serentak menyampaikan bahwa ananda disuruh oleh Sri Paduka untuk keluar sebab matahari sudah tinggi. Tak ubahnya air mengalir air mata kerinduan Batara Guru kepada adik-adiknya, semuanya pun ikut menangis adik-adik La Togeq Langi. Setelah selesai mandi dengan langir busa pada mangkuk guruh besar berkuping dikeringkanlah tubuhnya oleh Talaga Unruq dan Dettia Tana, kemudian dipasangkan bajunya oleh Welong Mpabareq dengan dikelilingi oleh pedupaan disertai suara belas kasih.
Setelah selesai berpakadian, berangkatlah Batara Guru yang dipersiapkan turun ke bumi ditayangkan pergelangannya oleh adik-adiknya, dan diapit oleh pembesar dari Abang Lette, diramaikan suara kasih sayang yang menyayat hati dari Leteng Riuq dan dipandu Inang pengasuh dari Wawo Unruq di depan. Menjelang keberangkatannya itu, Dettia Unruq  dan Sangdiang  Kapang menyuruh Batara Guru menghentikan  air  mata  rindunya  ke Boting  Langiq, mau diapalah katanya kalau memang demikdian kehendak Sri Paduka ayahanda. Semogalah merasa kasihan Sri Paduka di Peretiwi hingga terbukti ucapannya benar-benar memunculkan anaknya menjelma di dunia. Dialah yang akan menjadi permaisuri kakanda nanti di bumi, yaitu sepupu sekali kita. Tanpa berkata sepatah kata pun Batara Guru kepada adik-adiknya.
Setelah dipakaikan semua pakaian kebesarannya, Patotoqe kemudian menyampaikan kepada putra kesayangannya bahwa jangan kau menganggap bahwa kehendakmulah La Togeq yang jadi. Kalau kau melanggar engkau akan hancur disambar petir dan menyala, akan hilang jiwa datumu (raja). Engkau adalah manusia sedangkan aku adalah Dewata. Semakin bertambah kesedihan hati Batara Guru mendengar ucapan yang memperanakkannya
Setelah berseruh Patotoqe, maka bangkitlah La Patigana mengangkat bambu betung tempatnya berbaring  Batara Guru. Setelah memerintah Sangka Batara maka dicabutlah palang guntur penutup pintu batara dari petir lalu langit dibelah dua. Dibuka lebar pulalah tuju lapis batara yang diiringi oleh gelap gulita dan gejolak alam yang maha dahsyat. Bersamaan dengan itu diturunkan pulalah ayunan kemilau yang dimuati bambu betung tempat berbaringnya Batara Guru yang diusung oleh guntur dan diiringi oleh angin kencang. Beriringan semua berangkat seraya mengelu-elukan tuan penghambaan mereka. Baru setengah langit turunnya ayunan tali berpalinglah Manurungnge menyingkap baju biru langitnya. Saat itu dia menengadah ke atas dilihatnya samar-samar Boting Langiq, menunduk lagi ke Peretiwi dilihatnya pula samar-samar. Semakin terasalah kesedihan hati Manurungnge hampir saja terhenti tarikan nafasnya mengingat keadaan di Boting Langiq, diingatnyalah semua saudaranya. Dalam hati Manurungnge  berkata, tenggelam dan kehilangan rupanya aku pembelai semangat. Entahlah apakah nanti aku tenggelam dan padam nyala jiwaku tak disaksikan oleh kedua orang tua serta saudara-saudaraku. Menunduklah Manurungnge sambil menghambur taletting mperreq, itulah yang turun menjalin wilayah, dan  menggumpal   gunung,  kemudian    membentuk   perbukitan,  sertra    meluaskan   lembah, melebarkan laut, menoreh binanga, mengatur gelombang laut, maka melebar pulalah tanah. Dia melempar lagi siri atakka di sebelah  kanannya,  telleq araso di sebelah kirinya, maka rimbunlah hutan. Semakin dekatlah Batara Guru ke dunia, dia melontarkan lagi wempong mani dari Wawo Unruq, itulah yang menjadi ular dan binatang yang beraneka macam. Dia menebarkan lagi bertih kilat dari Limpo Bonga, beras berwarna dari Leteng Nriuq, maka ramailah suara aneka ragam margasatwa yang memperebutkan tempat bertengger di hutan
Tidak mau lagi merapat ayunan petir yang ditempati bambu betung tempat berbaring Batara Guru, tiba-tiba guntur menggelegar tujuh kali bagaikan hendak runtuh Boting Langiq seperti kalau akan hancur Peretiwi. Saat itulah ayunan petir Manurungnge mendarat di bumi. Diturunkanlah bambu betung tempat Batara Guru berbaring, dan selanjutnya dinaikkan kembali ayunan petir ke Boting Langiq, kembali pulalah semua anak dewata yang mengantarnya. Setelah tiba di Sao Kuta Pareppaqe, menangislah semua anak Patotoqe setelah melihat ayunan petir Manurungnge yang sudah kosong. Berseru seraya menepuk dada Talaga Unruq dan Welong Mpabareq, mengapa Sri Paduka tidak menurunkan daku ke dunia supaya aku sehidup semati anak Dewata kesayanganku. Tidak menyahut sepata kata pun To Palanroe, sementara Datu Palinge hanya duduk termenung mencucurkan air mata kerinduan kepada anaknya. Gelisah pulalah Sinauq Toja hendak turun kembali ke Toddang Toja, maka mohon dirilah Raja Peretiwi kepada kakaknya. Setelah To Palanroe mengizinkan, maka tidak terasa olehnya Datu Palinge bahwa dirinya sudah turun kembali ke Uriq Liu  di kerajaan Toddang Toja.
Sudah tujuh hari tujuh malam Batara Guru berada di bumi dalam keadaan yang amat menyedihkan, tak pernah ada yang lewat di kerongkongannya. Ketika malam menjelang dini hari berpalinglah Manurungnge sambil menendang kain biru bertatahkan bulan, sehingga terbelah bambu betung tempatnya berbaring. Ketika fajar menyingsing di pagi hari, terbangunlah Manurungnge, matahari pun perlahan bergerak naik bangkitlah dia lalu pergi berjalan-jalan ke hutan di pinggir sungai. Ketika melihat air dia kemudian turun lalu minum. Ketika Batara Guru hendak naik dan ingin kembali ke bambu betung tempat tidurnya, terlihat olehnya Penguasa telaga  (semacam buaya) berpakadian warna kuning. Dengan menengadah Penguasa telaga mempersilakan Manurungnge naik ke atas punggungnya. Dia menyampaikan bahwa akan kuturunkan engkau ke Uriq Liu agar engkau bertemu dengan sepupu sekalimu. Manurungnge pun naik di punggung Penguasa telaga, hanya sekejap saja sampailah dia di Uriq Liu dan berjalan-jalan di Toddang Toja. Kebetulan sekali dia menemui sedang berkumpul anak raja di Peretiwi yang sedang menyabung ayam andalannya masing-masing. Batara Guru yang dijadikan tunas di bumi berdiri termenung menyaksikan para penyabung silih berganti tampil di gelanggang keemasan. Sambil berdiri memandang di dekat pagar berkata dalam hati Batara Guru, kecil-kecil rupanya orang di sini, dan semua pada keriting rambutnya
Saat itulah di malam gelap gulita, Batara Guru sujud menyembah ke Boting  Langiq seraya berkata bahwa dirinya tiada membantah kepada Dewata. Dan apa gunanya dia tinggal di dunia menderita dirasuk dingin, dihembus angin, diterpa badai, disinari matahari, sengsara karena lapar, dan teramat dahaga. Kebetulan sekali Datu Palingeq terjaga dari tidurnya di Boting Langiq, terdengarlah olehnya anaknya mengeluh di dunia. Terasa sedih hati Mutdia Unruq, dia kemudian bangkit dengan hati yang berdebar-debar, lalu berjalan menuju ke balairung terus duduk di bangku kilat mencucurkan air mata rindunya. Patotoqe lalu terbangun dan ketika mengetahui keadaan istrinya, dia lalu bergegas pergi duduk di sampingnya. Dengan menangis berkatalah Palingeqe kepada suaminya bahwa mengapakah tidak kau turunkan daku ke bumi, agar aku sehidup semati anak sulungku. Sebab pilu benar rasa hatiku mendengar anakku mengeluh tak berbatas di dunia. Berbalik Sang Dewata Patotoqe menyampaikan kepada permaisuri kesayangannya bahwa bdiarkanlah dahulu Batara Guru merasakan penderitaan tinggal di bumi. Nanti kemudian baru kita turunkan seluruh pusakanya, istana keemasan tempat tinggalnya.
Kita juga turunkan We Lele Ellung, We Saung Nriuq, Apung Talaga, temannya untuk saling menghibur. Kita turunkan juga Talaga Unruq, Welong Mpabareq, Inang pengasuh yang memeliharanya, saudara sepupunya yang anggun, juga beribu teman sebayanya. Kalau terlalu cepat kita turunkan pusaka lengkapnya, nanti dia lupa diri dan tidak mau menyembah ke Boting Langiq sehingga membuat dia tenggelam dan pendek umur. Bdiarkanlah dahulu Datu Palinge kita turunkan tujuh oro, tujuh buah kampak untuk dipakai merambah hutan. Bdiarlah dahulu dia hidup dengan jagung dan gandum. Setelah itu baru kita turunkan warisan lengkapnya dari Boting Langiq
Mendengar perkataan Paduka suaminya, Mutdia Unruq dengan berat hati kemudian berkata bahwa yang aku inginkan Patotoq, segeralah engkau berikan pusaka lengkapnya Batara Guru, sebab sangat pilu rasa hatiku mendengar anakku mengeluh di pusat bumi. Lima belas hari lamanya Manurungnge di bumi sejak itu pulalah dia menahan lapar dan dahaga. Menjelang dini hari, ketika sangat nyenyak tidurnya tak dirasakan guntur beriringan petir dan tiga kali menggelegar halilintar, langit bagaikan runtuh, Peretiwi seakan-akan pecah dan ketika itulah diturunkan La Oro menjelma
Ketika menjelang pagi terbangunlah Batara Guru di Atawareng dari bambu betung tempat pembaringannya, kebetulan sekali dia melihat La Oro Kelling masing-masing memegang kampak keemasan. Bangkitlah segera  dia yang  ditempatkan  sebagai  tunas di  bumi, kemudian  sepakat La Oro Kelling pergi membuka kebun. Hanya sebatang pohon kayu yang ditebang Manurungnge kemudian pohon itu lalu menimpa pohon kayu lainnya hingga di tepi pantai dan terang hingga laut  sebelah barat. Setelah itu, kembalilah Manurungnge  duduk  di bambu  betung tempatnya berbaring. Kebetulan sekali matahari sangat panas sehingga keringlah semua perkebunan La Oro Kelling. Tidak lama setelah itu, hari kemudian mendung lalu hujan rintik-rintik, tiba-tiba Peretiwi bagaikan hendak runtuh, bumi bagaikan ingin terbang bersamaan itu pulalah api dewata turun. Hanya tujuh hari tujuh malam bersilah sudah kebun La Oro Kelling, ketika Batara Guru bangun dari pembaringannya beriringan La Oro Kelling pergi mengelilingi kebunnya. Memandang Manurungnge menyampaikan kepada La Oro bahwa  ubi dan keladi, tebu, pardia, begitu pula pisang  telah tumbuh semua.
Sudah tiga bulan ndian Manurungnge di Kawa dalam keadaan sengsara menahan lapar dan dahaga, tak satu pun makanan melewati kerongkongannya. Ketika malam telah larut, nyenyak sekali tidur Batara Guru sehingga tak terasa olehnya petir sabung-menyabung, halilintar dan guntur menggelegar, kilat silang-menyilang, langit pun mendung. Saat itulah Patotoqe menurunkan istana petir keemasan dari Wawo Unruq, bersama We Saung Nriuq, We Lele Ellung, Welong Mpabareq, dan saudara sesusuannya. Diturunkan pula Inang pengasuh yang ratusan serta ribuan pengawal seangkatannya. Bagaikan diterbangkan oleh guntur negeri di Wawo Unruq, di Uluwongeng. Semua penduduk diturunkan bersama rumahnya, diturunkan pula gelanggang kilat Ellung Pareppaq tempat Batara Guru bersantai, pohon asam yang berjejer, dan semua pusaka lengkapnya   diturunkan menjelma di dunia. Bagaikan bunyi burung nuri kedengaran hiruk-pikuk para pengawal seangkatannya yang puluhan ribu, bersama Inang pengasuh. Tidak henti-hentinya bunyi guntur, petir dan kilat, maka sampailah berdiri istana petir keemasan di tengah hutan belantara di Ale Luwuq. Setelah selesai semua menjelma pusaka lengkap Manurungnge, barulah padam api dewata yang menyala disertai surutnya badai. Pada waktu fajar mulai menyingsing esok harinya, bangkitlah Batara Guru dari bambu betung tempatnya berbaring, terlihatlah olehnya istana petir keemasan dari Wawo Unruq serta gelanggang kilat halilintar tempatnya bersantai. Laksana mega beriring istana lengkap pendamping hamba dewata yang diturunkan
Alangkah senang hati Batara Guru melihat pusaka lengkapnya telah diturunkan dari Boting Langiq. Ketika itu berangkatlah Manurungnge diiringi oleh La Oro Kelling menuju ke kampung halamannya di Ale Luwuq. Melihat kedatangan Batara Guru yang hanya dikawal oleh La Oro Kelling, maka menangislah sekaldian anak dewata yang datang dari Boting Langiq menyaksikan putra dewata asuhannya berjalan tanpa mengendarai usungan guruh, tak dinaungi payung petir, dan tidak diiringi oleh bangsawan tinggi. Seraya menangis Talaga Unruq dan Welong Mpabareq memerintahkan agar anak dewata pergi menjemput Sri Paduka naik ke istana. Belum usai ucapan Welong Mpabareq, maka bergegaslah sekaldian anak dewata datang menjemput tuannya. Setelah memasuki pekarangan Batara Guru menyusuri tangga, berpegang pada susuran kemilau. Bagaikan angin dari langit taburan bertih kemilau dari atas istana. Melihat kedatangan Manurungnge, maka berserulah Talaga Unruq dan Welong Mpabareq bahwa kasihan jiwa kebangsawananmu, wahai anakku. Naiklah ke mari ke istanamu, ke tengah-tengah balairungmu! Setelah dipersilakan, barulah Batara Guru melangkahi ambang pintu, menyusuri lantai papan badai kemilau. Dan Talaga Unruq sendiri yang menayangkan lengan anak dewata asuhannya dan diapit oleh saudara sesusuannya
Telah lima purnama Manurungnge berada di Bumi. Tepat tengah malam benar, dalam mimpi dia kemudian melihat dirinya naik ke Langit dan singgah mandi di Sungai Limpo Majang kemudian langsung naik ke Ruallette negeri dewata di Boting Langiq. Di bawah pohon asam Tanra Tellu duduklah di gelanggang petir tempatnya bersantai ketika dia masih berada di Boting Langiq. Kebetulan para penjaga ayam hadir semuanya, Manurungnge langsung membuka kurungan ayam lalu menangkap Massalissiqe, dan mengusap-usap Gonratungnge, kemudian berpalik mengambil Koro yang bersusuh emas dan Dunrung Leworeng. Bekatalah kemudian Batara Guru bahwa dia tidak perkenankan disabung Massalissiqe dan Gonratungnge, begitu pula Gellarengnge. Maka seraya menyembah berkatalah para penjaga ayam di Ruallette bahwa tidak pernah disabung ayam kesayangannya sebab Sri Paduka Patotoqe melarang-Nya karena Dia brmaksud mengirim kepada Tuan di Bumi. Alangkah senang hati Manurungnge mendengar ucapan penjaga ayam itu. Batara Guru lalu pergi berdiri di tengah istana dan kebetulan dia melihat kedua orang tuanya sedang duduk berdampingan. Gembira sekali Mutdia Unruq seraya memanggil La Togeq duduklah di atas tikar permadani.  Sembari menyembah Batara Guru pun duduk di antara orang tuanya. Palingeqe lalu berpaling melingkarkan lengannya pada leher anak sulungnya seraya menyirami air mata putra mahkota yang dicintainya. To Palanroe pun menunduk seraya menganyodorkan sirih kepada putranya lalu berkata bahwa besok datanglah wahai anakku menjemput kirimanmu di pinggir pantai
Gembira nian Batara Guru mengira dirinya berada di langit. Ketika dia tersentak dan bangun dari tidurnya, dia kemudian sadar bahwa dirinya berada di dunia. Dia bangun dan duduk termenung sambil mencucurkan air mata. Lebih dari sepetanak nasi duduk termenung barulah kemudian dia menyuruh menyalakan lampu. Manurungnge lalu menyampaikan perihal mimpinya kepada We Saung Riuq, We Lele Ellung, dan Apung Talaga dan juga memberitahukan mengenai pesan To Palanroe agar dia ke pantai menjemput kirimannya. Setelah mendengar perkataan Manurungnge, maka serentak mereka berkata bahwa itulah Tuanku, yang disebut mimpi nyata. Bdiarlah nanti fajar menyingsing di ufuk timur baru kita pergi ke pinggir pantai.
Malam itu Batara Guru sudah tidak bisa tertidur lagi. Ketika fajar tiba, serentaklah bangun seluruh penghuni istana kilat nan keemasan. Memerintahlah We Lele Ellung agar rakyat berkumpul dan mengantar usungan keemasan Manurungnge di bawah naungan payung kebesarannya. Disertai dengan gemuruh bunyi adat upacara kebesaran, Batara Guru diarak menuju ke arah pantai bersama riuhnya bunyi gendang petir manurung. Setelah sampai di sana, diletakkanlah usungan di pinggir pantai. Seusai menoleh ke kiri dan ke kanan, tak satu pun yang tampak olehnya. Seekor burung atau semut pun tak terlihat, bahkan angin dari timur pun eggan berhembus. Kemudian berkatalah di dalam hati Manurungnge, apa gerangan kehendak To Palanroe karena jelas sekali tadi malam orang tuaku mengatakan bahwa besok, datanglah ananda ke pantai menjemput kirimanmu. Tetapi ternyata kini tak ada sesuatu pun yang tampak. Karena tidak menyaksikan sesuatu apa pun juga, maka inginlah Batara Guru kembali ke Ale Luwuq. Dalam keadaan bimbang tiba-tiba terlihat oleh La Unga Waru dan La Ulaq Balu sedang bergantungan di tangkai pohon beropa kelewang emas pusaka dari Boting Langiq. Juga tampak olehnya perisai emas dan payung kilat manurung tempat bernaung-Nya To Palanroe. Batara Guru lalu kembali duduk di pinggir pantai dan ketika dia menoleh ke ufuk timur seketika lautan terang-benderang. Bagaikan sinar bara bertebaran laut nan luas itu. Bertanyalah Manurungnge kepada We Saung Riuq apa sesungguhnya yang terjadi sehingga sinar membara menerangi samudera.
Belum selesai ucapan Batara Guru sudah muncul pula We Nyilik Timoq lengkap dengan usungannya di atas permukaan air di tengah busa air. Puluhan ribu rombongannya memakai sarung berwarna, berkalungkan cahaya kilat, berbaju sutra sulaman benang emas. Bagaikan bara menyala payung keemasan yang menaungi We Nyiliq Timoq terapung-apung di atas permukaan air. Alang senang hati Manurungnge menyaksikan sepupu sekalinya. Batara Guru kemudian menyuruh anak dewata datang menemui Sri Paduka Tuannya. Belum selesai ucapan Manurungnge bersamaanlah semua anak datu berenang ke arah ratu pertuanannya, namun setiap kali mereka mendekat selalu dihempas oleh gelombang kembali ke pantai. Melihat ketidakmampuan   mereka   mencapai   usungan,   akhirnya  Batara  Gurulah   yang  turun berenang menemui sepupu sekalinya. Alangkah gembiranya Manurungnge seraya berpegang pada usungan We Nyiliq Timoq sambil membawanya ke pantai. Setelah tiba di pantai betapa terpukau hati Batara Guru menyaksikan kecantikan sepupunya yang tiada bandingannya.
Manurungnge lalu mengajak paduka adindanya agar berkenang berangkat ke Ale Luwuq. Dia menyampaikan bahwa tiada duamu wahai paduka adinda yang diturunkan untuknya istana kemilau, menjadi pemilik negeri di permukaan bumi. We Nyiliq Timoq tidak menjawab sepata kata pun ucapan sepupu sekalinya. Dengan menyembah Tenritalunruq dan Apung ri Toja menyampaikan kepada adinda Sri Paduka bahwa ringankanlah dirimu kita berangkat ke istana. Janganlah kita tinggal di muara dihempas angin diterpa bayu, disinari matahari, dan dikerumuni mata memandang. Maka diangkatlah usungan keemasan yang muncul di Busa Empong dan kemudian disusul oleh usungan keemasan Manurungnge. Sungguh ramai upacara kerajaan di Busa Empong yang bertaut dengan upacara kahiyangan langit Manurungnge di Ale Lino. Setelah sampai di istana Ale Luwuq, maka bertaburanlah bertih kilat dari atas istana sebagai tanda penghormatan atas kedatangan Manurungnge dan We Nyiliq Timoq. Setelah dipersilakan memasuki istana, maka beranjaklah We Nyiliq Timoq dipegangkan lengannya oleh Batara Guru, seraya menyusuri tangga kemilau, melangkahi ambang pntu, menginjak lantai guruh istana kemudian masuk.
Bagaikan saja orang yang mengenyang madu di dalam hati Batara Guru memandang istrinya. Sudah tidak mau menjauh lagi Manurungnge karena asyiknya bercumbu rayu. Tak teringat lagi Boting Langiq bagi Batara Guru. Sudah tiga bulan lamanya We Nyiliq Timoq berada di bumi dengan perasaan bahagia. Ketika dia membuka jendela istana dan memandang turun dilihatnya aneka macam buah-buahan, lalu diperintahkannya kepada para pengawal istana untuk memetikkan satu demi satu buah tersebut kemudian dimakannya. Setelah selesai makan buah-buahan dan diikuti oleh para penghuni istana, maka kembali We Nyiliq Timoq menoleh ke pekarangan istana dan dilihatnya pula burung-burung sedang asyik meminum air yang sedang bergelembung-gelembung busanya. Dia lalu memerintahkan lagi kepada pengawal istana supaya mengambilkan air itu untuk diminum dan diikuti pula oleh sekalian penghuni istana.
Ketika matahari sedang berada di atas kepala mendung tiba-tiba datang, bumi pun gelap gulita sehingga tak satu pun yang tampak di pelupuk mata. Alam bagaikan mengamuk yang disertai badai, suara guntur, dan kilatan petir, maka diusunglah turun Puang Lae-Lae yang tinggal di lereng Gunung Latimojong. Diturunkan pula I We Salareng dan We Appang Langiq, bissu yang ditetapkan di Leteng Nriuq. Setelah mendarat Puang Matoa di lereng Gunung Latimojong barulah gejolak alam reda.
Setelah sekian lama perkawinan mereka, Batara Guru merasa sedih, dia lalu berpaling seraya berkata kepada Permaisuri yang amat dicintainya bahwa ada terasa duka dalam hatiku wahai adindaku. Sudah lama berada di Kawaq, tetapi belum juga engkau memiliki keturunan. Padahal, aku tak mau diganti oleh bangsawan campuran, bangsawan murni kunginkan mewarisi  kerajaanku. Menjawablah  yang  muncul di  Busa  Empong . Saat itu dia berkata pada suami sepupunya bahwa engkau lagi wahai Datu Manurung merasa duka dalam hati karena tidak ada keturunanku. Kakanda yang sudah lebih sepuluh keturunan masih juga bersedih, apalagi saya betapa merananya hatiku di dalam, karena tak adanya seorang pun keturunanku. Berpaling dia yang menjelma di bambu betung, mengusap-usap istri sepupu sekalinya seraya berkata, kasihan engkau We Datu Tompoq, tetaplah di sini kahiyanganmu permaisuri di Ale Luwuq. Walaupun ratusan jumlah keturunanku bukan juga dia yang kuharapkan, wahai adinda mengganti kedudukanku kelak. Ketika Batara Guru selesai berdialog dengan istrinya, malam pun telah larut bergandengan tanganlah mereka memasuki bilik peraduannya di balik gemerlapnya cahaya pelita dan kandil di bahagdian dalam. Alangkah gembira perasaan Manurungnge dalam mahligai cinta memuaskan hati berdua di dalam sarung indah nan kemilau, bersuka rdia dengan gaya orang Boting Langiq hingga berdua tertidur nyenyak dalam satu bantal.
Di Boting Langiq, Patotoqe telah mengetahui bahwa pada malam itulah permaisuri Batara Guru telah hamil. Berkatalah Patotoqe kepada Datu Palingeq, baiklah wahai Datu Palingeq kita turunkan untuknya bissu sejati di Ale Luwuq, agar dialah nanti yang mempersiapkan upacara kahiyangan langitnya. Sebab telah tinggal darahnya anak menantu kemanakan kita. Sebab We Nyiliq Timoq suami-istri tiada menentu pikirannya karena belum juga memperoleh keturunan.
Ketika fajar menyingsing keesokan harinya, terbangunlah Manurungnge masih satu sarung dengan istri, dia pergi mencuci muka di mangkuk putih kemudian menyirih seraya menenangkan hatinya. Bangkitlah dia keluar bergandengan tangan dengan Sang Permaisuri. Gemuruh kedengaran lantai keemasan hentakan kaki para bissu orang Boting Langiq yang diturunkan, bersama isi balairung dari Toddang Toja yang  dimunculkan,  langsung duduk di atas peterana keemasan, berdampingan suami-istri. Sahut menyahut guntur, sabung-menyabung kilat dan petir. Badai pun menghempas tiada henti diiringi oleh gelap gulita, menyala api dewata yang diiringi oleh angin ribut. Gemetar badan orang Luwuq dan orang Wareq. Ketika itulah diturunkan We Sawammegga di Leteng Riuq. Setelah mendarat semuanya, barulah matahari kembali bersinar cerah. Batara Guru semakin tidak tenang perasaannya memikirkan nasib Datu Tompoq yang belum juga memiliki keturunan.
Manurungnge kemudian memerintahkan kepada We Lele Ellung dan We Saung Riuq untuk membawa sesembahan di Latimojong. Juga menyuruh mengundang We Sawammegga dari Leteng Riuq, bissu sejati yang baru saja diturunkan dari Langit. Undang pula Puang ri Luwuq dan Puang ri Wareq supaya datang semua berkumpul untuk memohon pada dewata agar saya mendapat putra mahkota. Batara Guru berkata bahwa tiada senang hatiku sebab belum ada putra mahkota yang dilahirkan oleh Paduka Tuanmu. Utusan itu kemudian pergi dan setelah melaksanakan tugasnya, maka dia lalu kembali membawa bissu sejati, Puang ri Luwuq dan Puang di Wareq bersama para pengikutnya. Mereka lalu datang bersimpuh seraya menyembah di hadapan Batara Guru dan permaisuri We Nyiliq Timoq. Setelah beristirahat dan berdialog sejenak maka diperintahkanlah We Sawammegga, Puang ri Luwuq, dan Puang di Wareq untuk mempersiapkan upacara adat untuk memohonkan kepada dewata agar Manurungnge dikarundiai putra mahkota. Ramailah sudah upacara kebangsawanan We Nyiliq Timoq, bersahut-sahutan doa keselamatan. Sudah mengepul asap dupanya Puang Matoa dan ketika fajar menyingsing keesokan harinya, baru saja matahari terbit seketika sinarnya bagaikan ditutup, sabung-menyabung kilat dan petir, berkobar-kobar api dewata manurung beriringan badai dan topan. Berbaringlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong di atas tikar yang indah. Tujuh hari tujuh malam tidur terus Puang Matoa menjelajahi Boting Langiq dan Peretiwi memohonkannya di Ruallette, memintakan di Uriq Liu.
Matahari baru saja terbit bangunlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong, membasuh muka pada mangkuk putih. Puang Matoa kemudian datang sujud seraya menyembah di hadapan Batara Guru dan permaisuri. Bersamaan bertanya Manurungnge dan istri, bagaimana gerangan tidurnya  Puang Matoa. Menyembah lalu berkata yang bermukim di lereng Latimojong, hamba ke Senrijawa, hamba turun juga ke Peretiwi. Hamba memohonkan Tuanku di Boting Langiq dan di Toddang Toja, memintakan Tuanku mahkota pada dewata. Rupanya sudah dekat masanya, wahai Tuanku, tiada haid Sri Paduka We Nyiliq Timoq. Dia akan melahirkan nanti tunas pengganti lelaki, Opu penyabung pembunuh ayam. Dan dialah wahai Tuanku yang akan ditudungi payung  menaklukkan sekolong langit
Alangkah senang hati Manurungnge mendengar ucapan Puang Matoa. Serentak Batara Guru dan permaisuri berkata, ambillah olehmu bissu datu sebagai hamba dewata masing-masing seratus orang. Hanya tuju hari saja setelah Datu bissu datang mengurut perutnya, sudah tiada haid lagi We Nyiliq Timoq. Sudah tak enak perasaannya. We Nyiliq Timoq sudah ingin memakan buah-buahan yang tidak terdapat di Ale Luwuq. Batara Guru kemudian memerintahkan para burung untuk mencarikan buah Sri Paduka. Tidak lama setelah itu, berdatanganlah utuan dengan membawa aneka macam buah-buahan dan makanan yang diingini We Datu Tompoq. Berpaling seraya berkata Batara Guru, bangkitlah ke mari paduka adinda, kau saksikan air sejuk yang melimpah. Maka bangkitlah We Nyiliq Timoq, gembira sekali hati Datu Tompoq menyaksikan air sejuk yang melimpah. Setelah itu, dimandikanlah permaisuri yang muncul di Busa Empong kemudian dipasangkan pakadiannya oleh We Lele Ellung
Tujuh purnama sesudah upacara selamatan kandungan We Nyiliq Timoq, tepat tengah malam We Datu Tompok dibangunkan oleh rasa sakit di perut. Maka bangunlah We Nyiliq Timoq mencucurkan air matanya meruah. Segera pula bangkit Manurungnge seraya meraih kedua belah lengan istrinya. Batara Guru bertanya pada We Timoq mengapa dia  bangun  tak memberitahu suami, seperti  rasanya  orang yang  tidak  disayangi. Batara Guru kemudian memerintahkan We Saung Riuq,  We Lele Ellung, dan Apung Talaga untuk memasang lampu dan menyalakan lilin. Batara Guru memberitahukan bahwa sudah gelisah bayi raja sehingga tuanmu terjaga oleh rasa sakit diperut. Belum selesai ucapan Manurungnge serentaklah semua bangun penghuni istana menyalakan lampu.
Alangkah sakitnya perut yang muncul di Busa Empong, bangkit pulalah segera Puang Matoa ri Lae-lae memasang lanrang patola, gelang emas, lailaiseng tempat berpegang Sang Ratu untuk merejan. Manurungnge sendiri memerintahkan memasang walasuji, bambu emas yang mengelilinginya, tanah tempat menetesnya darah bayi raja. Dalam keadaan perih We Nyeliq Timoq bangun berpegang pada laillaiseng, bertumpu pada papan keemasan, bergantung pada lanrang potto namun tak bergeser juga perutnya, bahkan masuk lebih dalam lagi bayi raja di perutnya. Silih berganti Puang Matoa berdiri menggoyangkan tongkat keemasan tetapi belum juga bergetar perut We Nyiliq Tmoq. Dalam keadaan was-was mendekatlah Batara Guru pada istrinya seraya menyuruh istrinya bangun berpegang pada lanrang patola, bertumpuh pada papan emas. Manurungnge kemudian memberi semangat dan berkata bahwa tidak ada duamu wahai adinda, menerima upeti persembahan yang banyak di kolong langit, di permukaan bumi. Berkata lagi Manurungnge bahwa lahirlah kemari darah bangsawan, keluarlah engkau I La Tiuleng, agar engkau dinaungi payung di Ale Luwuq, penguasa tunggal di Watang Mpareq, memerintah sekolong langit, sepetala bumi.
Tiada bergetar sedikit pun bayi raja, bahkan kembali lagi lebih jauh ke dalam. Bangkitlah kembali We Nyiliq Timoq seraya berkeras sambil bersandar pada Inang pengasuh, bertelekan pada anak bangsawan seasuhannya. Sri Paduka menggapaikan kedua lengannya pada Inang pengasuh yang memeliharanya seraya mencucurkan air matanya yang meruah. Apung Talaga sendiri yang mengusapkan limpahan air mata paduka adiknya. Sembari menangis berkatalah Apung Talaga, bahwa kasihan engkau wahai Sri Paduka adinda. Semoga tetaplah roh kehiyanganmu. Hiduplah terus adikku We Timoq, melahirkan bayi raja. Hanya engkaulah sendiri wahai Sri Paduka yang harus berusaha sekuat tenaga.  Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut We Datu Tompoq. Tak ubahnya air mengalir cucuran air matanya. Sudah tujuh hari tujuh malam We Nyiliq Timo dicekam sakit, namun belum juga bergerak isi perutnya. Hilang akal semua dukun kerajaan menyaksikan bayi raja yang tiada juga mau lahir. Sambil menoleh Manurungnge memerintahkan para penghulu, agar semua daerah takluk datang berkumpul sambil membawa peralatan perangnya. Hanya beberapa saat saja, semua pasukan dan panji perang sudah tiba di depan istana keemasan Manurung. Ketika itu perang sudah mulai berkecamuk, darah pun mengalir. Lima belas malam lamanya perang berlangsung korban telah berjatuhan dari semua pihak. Saat itu, tepat tengah hari benar, tepat matahari berada di atas kepala, tiba-tiba gelap di Ale Lino. Tak saling mengenal lagi orang banyak. Sabung-menyabung kilat dan petir, silang-menyilang halilintar dan angin ribut beriringan dengan api dewata. Bersahut-sahutan upacara kerajaan, tiba-tiba tegak pelangi di bahagian kaki We Nyiliq Timoq. Kembali perutnya sakit. Sambil berbaring di pangkuan ibu susu segaharanya dia pun menangis seraya berkata We Datu Tompo, matilah daku wahai Inangda. Habis nyawaku Apung ri Toja. Tak disaksikan oleh Datu Dewata yang melahirkanku, tak disaksikan oleh Opu Sang Hiyang orang tuaku. Tidak pula di Toddang Toja, kampung halaman tempat aku dibesarkan terbujar jazad diriku.
Alangkah  sedih  hati  Batara  Guru  mendengar rintihan istri yang amat dicintainya. Berpalinglah dia memegang lengan istrinya. Menangis terisak-isak sembari berkata Manurungnge, kasihan engkau wahai adinda We Timoq, tetaplah di sini jiwa kehiyanganmu. Semoga panjang umurmu We Datu Tompoq. Harga dirimu didengar To Palanroe. Batara Guru berkata, lahirlah engkau bayi raja seorang laki-laki agar engkaulah anak yang mengambil kelewang emas pusaka dari Ruallette. Janganlah engkau menetap merayu-rayu di dalam perut ibumu. Bangunlah kembali We Nyiliq Timoq berkuat sambil berpegang pada lanrang potto, menggapai lailaiseng seraya diiringi nazar oleh para Pembesar dari Abang, namun tidak juga berhasil. Tak keruan rasa hatinya Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong, duduk termenung Puang ri Luwuq dan Puang ri Wareq. Berdiri bulu roma para dukun kerajaan sebab tak kunjung lahirnya bayi raja.
Sudah lima belas hari We Timoq dalam keadaan sakit perut, sedih sekali hati Manurungnge melihat istri yang amat dicintainya. Menangis Batara Guru sambil memberi semangat pujian dia pun menyuruh istrinya mengejang. Batara Guru sendiri  berdiri mengangkat istrinya, memangku sepupu sekalinya seraya menyandarkan ke dadanya yang lapang. Bagaikan putus tarikan nafas We Timoq berupaya mengajang, tetapi isi perutnya tidak juga bergerak.
Tepat tengah hari benar, gelap tiba-tiba datang menyergap, kilat dan petir sambung-menyambung. Tidak saling mengenal lagi orang banyak, bingung pula semua dukun kerajaan. Tiba-tiba tegak pelangi tujuh macam, dekat pada We Nyiliq Timoq, tiba-tiba meluncurlah bayi raja itu ke atas tikar permadani, ditadah dukun, ditimang oleh Puang Matoa. Menoleh  seraya  berseru  dukun  raja bahwa pukullah  gendang   dengan  irama   perang sebagai pertanda bahwa Raja Penyabung yang berani, penakluk sekolong langit telah menjelma di istana Sao Denra manurung. Belum selesai ucapan dukun raja maka ditabuhlah gendang bersama seluruh tetabuhan dan senjata lainnya. Bagaiakan hendak terbang istana keemasan manurung diramaikan oleh upacara kedewaan. Alangkah gembiranya Batara Guru bersama istri yang amat dicintainya menyaksikan anaknya yang telah menjelma di Ale Luwuq dalam keadaan selamat.
Setelah anaknya mulai merangkak maka diperintahkanlah para Matoa, bangsawan tinggi, dan pengawal istana untuk mengundang seluruh sanak keluarga sesamanya bangsawan untuk hadir di kerajaan Ale Luwuq dalam rangka menghadiri upacara adat sesembahan dan pemberian nama kepada anak raja yang baru lahir. Ratusan kerbau cemara dipotong sebagai tumbal sesembahan kepada Dewata Patotoqe dan permaisuri di Boting Langiq dan kepada Dewata Guru Riselleq dan permaisuri di Peretiwi. Setelah sesembahan kepada Dewata Patotoqe dan Guru Riselleq selesai diterima oleh utusan yang dikirim ke bumi, maka diberi pulalah nama anak raja yang baru lahir. Batara Guru dan We Nyiliq Timoq kemudian menamai anaknya Batara Lattuq, dan dia pulalah sebagai pewaris satu-satunya kerajaan Ale Luwuq dan berbagai benda pusaka manurung lainnya.
Demikianlah, kisah manusia pertama dalam episode “Saat Diturunkannya Batara Guru.” Dan dinaikkannya We Nyiliq Timoq dari Dunia Bawah (Peretiwi) sebagai suami istri dan penguasa tunggal jagat raya.
Mengenai cerita Galigo umumnya dan episode “Mula Ulona Batara Guru” pada khususnya, masyarakat Bugis pada masanya menganggap sebagai mitos yakni sebuah cerita suci mengenai leluhur mereka. Dan naskah yang merekam berbagai episode cerita berbingkai itu, dihargai sebagai sebuah kitab suci yang dalam banyak hal diyakini mampu menolong mereka dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup. Sebagai contoh, ada episode tertentu dalam cerita Galigo ini yang dianggap memiliki fungsi sebagai “kitab suci“ yang dijadikan panduan dalam berhubungan dengan Tuhan Maha Pencipta.
Berikut temuan keseragaman historiografi tradisional dalam naskah tersebut diatas:
A.   Genealogi yang merupakan permulaan dari semua penulisan sejarah
Genealogi dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu nenek moyang pertama, keturunan terakhir, dan rentetan orang-orang antara 1 dan 2. Dalam cerita epos diatas termasuk bagian dari yang pertama yakni mengenai cerita suci tentang leluhur mereka yang pertama yang mengisahkan riwayat batara guru yang dikirim dari langit menjadi manusia Bugis pertama yang mendiami bumi, Batara guru yang merupakan putra Patotoqe (sang penentu nasib) yang menjadi cikal bakal  raja-raja Bugispada umumnya.
B.   Asal-usul Rajakula yang mithis-legendaris yang merupakan bagian terpenting
Seperti yang disebutkan diatas mengenai dinasti Batara Guru manurunge (turun dari langit) kemudian menjadi cikal bakal raja-raja Bugis  atau berusaha dihubung-hubungkan dengan Batara Guru utamanya di  Luwu, Bone, Soppeng, dan silsilah kerajaan bugis lainnya. Cerita diatas merupakan episode pertama dari beberapa episode lainnya namu setiap cerita mampu berdiri sendiri. Dalam cerita di episode –episode berikutnya di ceritakan mengenai Batara Latu (anak batara guru) yang mempunyai keturunan yang bernama Sawerigading. Sawerigading inilah yang kemudian menjadi tokoh legendaris, sosok sang pengelana lautan sampai ketepi bumi, bahkan sampai lebih jauh lagi yaitu kenegeri arwah. Bahkan banyak yang meyakini bahwa sawerigading inilah “nabi” orang bugis (sosok panutan).
C.   Mitologi Melayu Polinesia tentang perkawinannya dengan Bidadari.
Dalam epos ini di ceritakan setelah Batara Guru diturunkan di dunia ia kemudian dipertemukan dengan Nyi Nyili Timo yang muncul dari Pretiwi (dunia bawah) yang kemudian menjadi permaisurinya. Munculnya Nyi Nyili Timo ini digambarkan timbul dari dunia bawah, dia mulai tampak diatas lautan bersemayam diatas panca persada ditengah-tengah gelombang yang membuih, payung kebesaran menaunginya membara laksana api dan berbondong-bondong orang mengikutinya dari kerajaan dunia bawah. Jadi proses kemunculannya sama halnya dengan bidadari dalam cerita lain meski dengan versi yang berbeda.
D.   Legenda Pembuangan Anak
Pada cerita diatas di gambarkan bahwa yang di pertuan dilangit (patotoqe) ayah Batara Guru  memutuskan untuk mencipta dunia tengah untuk itu dikirimnya batara guru ke dunia bawah (pembuangan anak), batara guru sesampai di dunia mengalami awal-awalnya mengalami penderitaan, kesepian sebelum diturunkah kebutuhan-kebutuhannya dan di pertemukan dengan calon istrinya Nyi Nini Timo.
E.    Legenda Asal Mula Kerajaan
Batara Guru sebagai keturunan langit yang sudah diatas bumi ini menjadi dinasti pertama Kerajaan Luwu yang dalam sejarah merupakan kerajaan tertua di Sulawesi-Selatan yang menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan Bugis Makassar lainnya. Permulaan terciptanya dunia oleh dewa-dewa dan kemudian menempatkan keturunannya untuk menjadi penguasa  di atas bumi yang menjadi asal mula kerajaan Bugis
F.    Tendensi Menjunjung Tinggi Rajakulanya.
Seperti yang dikemukakan diatas bahwa Manurunge dalam hal ini batara guru adalah anak dewa yang keturunannya nantinya menjadi cikal-bakal raja-raja. Bahkan raja-raja jauh setelah periode La Galigo setiap silsilah selalu berusaha dihubung-hubungkan dengan manurunge untuk mencitrakan bahwa raja-raja tersebut masih keturunan dewa agar lebih kharismatik dimata rakyatnya.

Fungsi Historiografi Tradisional pada konsepsi To Manurung

A.      Fungsi Sosial- Psikologis
Pola kekuasaan dan kepemimpinan kerajaan-kerajaan Bugis-makassar menempatkan To Manurung menciptakan suatu lapisan aristocrat untuk menjadi pemimpin dalam kekuasaan politik.  seperti di Bone, konsepsi kepemimpinan To Manurung telah di berlakukan secara intensif  sehingga tercipta suatu pelapisan masyarakat anakarung yang sepenuhnya adalah titiran To Manurung. Lapisan inilah menjadi pemegang kekuasaan sampai daerah-daerah kecil di seluruh kerajaan.
B.      Fungsi Edukatif
Cerita- cerita tentang To Manurung mencerminkan terjadinya bentuk kekuasaan dari bentuk kekuasaan suatu kaum yang dipimpin oleh matoa ke bentuk kekuasaan yang lebih tinggi yang di pusatkan pada satu orang yaitu To Manurung  tidak melalui penaklukan atau paksaan fisik dan penindasan suatu golongan atau kelas masyarakat. Antara raja (to manurung) dengan Matoa (pimpinan suatu kaum) di ucap perjanjian atau sumpah tentang apa yang boleh dilakukan raja dan rakyat. Perjanjian itu harus di ingat oleh raja dan rakyatnya karena menyangkut hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kehidupan ketatanegaraan. Konsepsi kekuasaan to manurung digambarkan sebagai kedatangan “juru selamat” untuk menyusun suatu tata kehidupan yang menjamin kesejahteraan bagi rakyat.  To Manurung dating untuk menuntun bagimana kebebasan, kemerdekaan pribadi dan kelompok-kelompok kaum itu dapat berguna untuk kesejahteraan bersama.
C.      Fungsi Magis
To Manurung dilukiskan sebagai manusia yang luarbiasa yang tiba-tiba muncul di muka bumi tanpa diketahui asal kedatangannya. Cara kedatangannya di gambarkan dalam lontara-lontara sebagai sesuatu yang luar biasa . sesudah itu disusunlah silsilah yang mempertalikannya dengan masa silam yang jauh yaitu La Galigo (mencari pertautan dengan Epos La Galigo) untuk memperoleh penerimaan model kepemimpinan yang kharismatik dimata rakyat. Setiap Tomanurung di gambarkan sebagai sosok yang mempunyai kesaktian. Batara Guru sendiri sebagai to manurung pertama yang turun di dunia tengah yang kosong atas kesepakatan dewa kemudian membentuk gunung, sungai, danau dan hutan. Bahkan kuburan anaknya kemudian menjelma menjadi tanaman padi, jagung dan lain-lain. Dia juga mempunyai kemampuan meredakan angin rebut dan halilintar serta menghidupkan kembali orang mati.
D.      Fungsi sebagai pusaka
Galigo adalah sesuatu yang dikeramatkan dan di sucikan oleh masyarakat utamanya episode pertama yaitu turunnya Batara Guru. Banyak yang meyakini bahwa kitab ini mampu menolong mereka dalam mengatasi kesulitan hidup seperti masyarakat bugis tradisional (pra Islam) dan sisa-sisa penganut kepercayaan ini masih bisa dijumpai pada masyarakat To Lotang di kabupaten Sidrap. Ada beberapa episode yang di yakini dapat menyembuhkan penyakit cacar dengan mengusapkan naskahnya.

Sejarah Epos La Galigo
Menurut Mattulada (1985;402), Epos La Galigo ditulis pada sekitar abad ke 7 – 10 M atau sejaman dengan kerajaan hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya, sedang Ambo Enre mengatakan Epos La Galigo itu berlaku sampai sebelum masyarakat Bugis mengenal Islam, yaitu sekitar abad ke 7 sampai 14 masehi inilah kemudian disebut periode Galigo. Dalam periode ini, sikap manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang terletak di luar dirinya. Segala sesuatu di pertautkan dengan kekuatan gaib sebagai sumber segala kekuasaan dan kepemimpinan.
Manuskrip  La Galigo sendiri pada umumnya mengandung tiga hal yaitu keagamaan (kitab suci), tradisi, kesenian. Sebagai kepercayaan itu dianut sebagai agama. Kekuasaan dalam kelompok diserahkan pada orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang diperoleh dengan jalan penitisan dewa-dewa. Mereka percaya bahwa segala kekuasaan itu berasal dari kerajaan dewa di Bottinglangi.





Daftar Pustaka
Kern, R.A. 1993. I La Galigo; terjemahan Laside dan Sagimun M.D. Yogyakarta:    Gadjah Mada University Press.
Herlina, Nina.2009. Historiografi Indonesia dan Permasalahannya. 2009. Bandung; Satya Historika.

Mattulada. 1985. Latoa; suatu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar