Keseragaman Historiografi
Tradisional
Historiografi tradisional
adalah penulisan sejarah yang dibuat secara tradisional. Setiap kebudayaan di
dunia selalu melewati fase tradisional itu termasuk Indonesia, bahkan di
Indonesia sendiri penulisan historiografi tradisional sangat menonjol. Sejarah
bukan hanya fakta-fakta belaka tetapi sejarah adalah sebuah cerita.
Historiografi tradisional cenderung di dominasi oleh aspek magis religius yang pengkisahnya tidak selalu diketahui secara
pasti. Kisah sejarah pada masa itu merupakan milik kolektif dari kelompok
sosial yang menghasilkannya.
Menurut bentuknya, historiografi tradisional dapat dikategorikan; bentuk
mitos, bentuk genealogis, bentuk kronik, dan bentuk annals. Disamping bentuk tersebut, historiografi tradisional cenderung memiliki keseragaman. Historiografi tradisional di Indonesia
memiliki keseragaman sebagian berikut;
1.
Genealogi
yang merupakan permulaan dari semua penulisan sejarah
2.
Asal
usul rajakula yang mithis-legendaris, yang merupakan bagian terpenting.
3.
Mitologi
melayu polinesia tentang perkawinan dengan bidadari
4.
Legenda
pembuangan anak
5.
Tendensi
menjunjung tinggi rajakulanya.
Berikut contah naskah epos I
La Galigo suatu hasil kesusastraan Bugis klasik
yang akan di jadikan bahan kajian untuk menemukan keseragaman tersebut:
“Mula riulona batara guru” (saat
diturunkannya Batara Guru)
Di Langit tertinggi yaitu pada lapisan langit ketujuh menurut
kepercayaan Bugis kuna, di sanalah bertahta Sang
Dewata Patotoqe (sang penentu nasib) bersama istri dan anak-anaknya. Mereka
hidup bahagia dan tenteram sebagai penguasa Tunggal. Pada suatu saat, ketika
sang surya mulai menampakkan sinarnya terbangunlah Patotoqe dari tidurnya di istana Sao Kuta Boting Langi. Ketika Sang Dewata menoleh ke pekarangan
istana seraya menyaksikan latihan perang-perangan antara La Tau Panceq dengan
La Tau Buleng, dilihat-Nya pula gelanggang sabungan kosong dan para penjaga
ayam tidak di tempat, murkalah Patotoqe
seraya bertanya apa gerangan yang menyebabkan sehingga penjaga ayam
sabungan-Nya meninggalkan tugasnya. Saat Patotoqe
sedang marah, para penjaga ayam itu pun
sudah tiba, setelah ditanya dari mana gerangan mereka sehingga ayam
kesayangan-Nya ditinggalkan begitu saja, maka menjawablah Ruma Makkompong dan
Sangiang Mpajung bersaudara, Patik datang di kolom langit di tepi Peretiwi menurunkan topan dan mengadu
petir dan tidaklah ada nian menyembah kepada Batara. Tak apalah gerangan Tuanku menurunkan seorang keturunan
untuk menjelma di muka bumi. Maka menjawablah Sri Paduka Batara bahwa biarlah aku naik ke istana Sao Kuta Pareppaqe menyampaikan kepada
Bunda La Rumpang Megga, sebab atas izin Datu
Palingeqlah baru bisa ditempatkan keturunan di kolong langit. Seraya
mempertimbangkan laporan para pati pengawal.
Maka berangkatlah Patotoqe
naik ke istana berselimutkan sarung
kemilau bagaikan bulan di langit dan diiringi oleh Raja dari
Wawo Langiq serta diramaikan oleh bangsawan dari Coppoq Meru. Patotoqe menaiki tangga, melangkahi
ambang pintu kemudian masuk melalui sekat tengah menyusuri dua ratus lima puluh
petak Istana Sao Kuta hingga
sampai di hadapan Wanita beladiannya.
Berakatalah Patotoqe kepada Sang
Permaisuri bahwa sebaiknya wahai adik Datu
Palingeq kita turunkan anak kita untuk berkuasa di bumi agar tidak tetap kosong. Kita bukanlah Dewata, wahai adinda, apabila tak satu
pun orang di kolong langit menyeru tuan kepada Batara.Setelah mendengar
perkataan suaminya maka berkatalah Datu
Palingeq bahwa jika engkau bermaksud
menurunkan tunas ke dunia, siapa gerangan yang berani membantah kehendak-Mu.
Atas kesepakatan Patotoqe
dengan istrinya maka dikirimlah utusan ke Toddang
Toja (kerajaan saudara Patotoqe di dunia bawah) untuk mengundang adik-Nya
serta sanak saudara untuk berkumpul di Kerajaan Langit. Belum selesai ucapan Patotoqe dicabutlah segera palang pintu
batara langit lalu diturunkan pelangi tujuh warna disertai guntur
sahut-menyahut. Berangkat pulalah segera para utusan Patotoqe turun mengantar undangan dan sesampainya di Toddang Toja, menghadaplah Rukkelleng
Mpoba bersama Ruma Makkompong kepada Sinauq
Toja penguasa Peretiwi (saudara Patotoqe) bersama istri guna
menyampaikan perihal undangan saudaranya ke Boting
Langit. Melihat kedatangan utusan
saudara-Nya, bertanyalah Sinauq Toja
suami-istri perihal apa gerangan yang disuruhkan saudara-Nya. Menjawablah
Rukkelleng Mpoba dan Ruma
Makkompong kepada tuannya Sinauq Toja bahwa Kakanda Tuanku menghendaki
kiranya Tuanku bersama istri naik ke Boting
Langiq. Sang dewata Patotoqe bermaksud menurunkan putranya di Ale Lino (pusat bumi). Sebab dia
menganggap dirinya bukanlah dewata apabila tak seorang pun menyembah kepada-Nya
dan menadahkan tangan ke Peretiwi.
Setelah selesai menghadap dan setelah Sinauq
Toja menerima dan menyetujui undangan kakak-Nya, mohon pamitlah utusan
tersebut lalu meneruskan perjalanan menuju ke tempat sepupu sekalinya yaitu To
Bala Unynyiq dan kemanakannya di Senrijawa yang bernama Senneq Batara. Setelah
melaksanakan perintah Patotoqe maka
utusan itu kembali ke Boting Langiq
melapor. Setelah tiba saat yang ditentukan yakni saat bulan purnama raya, maka
berangkatalah Guru Riselleq, Sangka
Malewa, Sinrang Mpatara, Senneq Batara dan rombongan ke Boting Langiq yang diantar oleh guntur, diiringi kilat dan petir.
Sebelum sampai di Boting Langit, Guru
Riselleq beserta rombongan melewati kerajaan anak-anak Patotoqe, Leteng Nriuq
kerajaan Balasangriuq, juga melewati Mallimongeng kerajaan I La Sangdiang,
Langku-langku kerajaan Aji Pawewang, Mallagenni kerajaan Aji Tellino, Limpo
Majang kerajaan Sangdiang Kapang, Wawo
Unruq kerajaan La Rumpang Megga. Semua kerajaan yang dilewati Guru Risellek dia selalu bertegur sapa
dengan semua kemanakannya sebelum melanjutkan perjalanannya. Setelah melewati
kerajaan Wawo Unruq, matahari masih pada tempatnya tibalah Guru Risellek dan
rombongan di Boting Langiq
dibukakanlah pintu halilintar
penutup langit.
Setelah memasuki batas wilayah pagar halilintar maka segenap penjaga
istana serempak bangkit menghalangi tiada memperkenankan Guru Riselleq beserta rombongan memasuki istana petir kediaman Patotoqe. Melihat orang bukan penghuni
langit maka bangkitlah Paddengngengnge, Paresolae, To Alebboreng, Pulakalie, I
La Sualang, I La Becociq penjaga pagar guruh, datang pula menyerbu burung
hantu, setan, bersama ular berbisa dan lipan raksasa penjaga istana Sao Kuta kediaman Patotoqe. Melihat gelagak yang tidak menyenangkan dari para
pengawal istana tersebut, meludahlah sembari berkata yang dipertuan di Toddang Toja bahwa lancang benar kalian
orang Sunra tidak memperkenankan rombonganku memasuki paga halilintar. Tidakkah
kalian tahu kalau aku saudara Patotoqe.
Seorang tinggal di Boting Langiq
berkuasa di Ruallette dan seorang
turun ke Toddang Toja menjadi raja di
Peretiwi. Kalian lancang tidak
memperkenankan rombonganku memasuki pagar istana petir. Gemetarlah seluruh
badan orang Sunra dan seluruh penjaga istana seraya berkata bahwa Tuan kita
rupanya yang berkuasa di Peretiwi,
kita telah lancang tak membdiarkan mereka memasuki pagar istana
halilintar. Setelah Guru Riselleq beserta
istri dan rombongan memasuki pekarangan istana,
mereka langsung dijemput oleh ribuan dayang-dayang sambil memegang talam
emas berisi bertih.
Sujud menyembah seraya berkata bangsawan dari Abang bahwa Patotoqe
beserta istri menghendaki agar Tuanku naik ke istana Sao Kuta Pareppaqe. Dengan malas Sinauq Toja membuka mulut dia berkata bahwa tidak pantas perbuatan
yang dilakukan orang Sunra
pengawal istana kepadanya. Dia
menyampaikan bahwa sedari tadi seharusnya mereka beristirahat di balairung
kakanda-Nya. Berpaling bangsawan orang Abang menunjuki penjaga paga istana
petir serentak keduanya berkata bahwa bersedialah engkau dihukum di bawah pohon
asam atas keangkuhanmu. Setelah itu, berangkatlah Sinauq Toja dan Guru Riselleq
raja Peretiwi memasuki pagar istana
halilintar bersama rombongan, ditaburi bertih keemasan sebagai tanda
penyambutan. Guru Riselleq beserta
istri dan rombongan menginjakkan kaki di tangga, kemudian naik dipegangkan
susuran, melangkahi ambang pintu, terus menyusuri lantai papan guruh.
Didapatinya sedang duduk bersimpuh berhimpitan para bangsawan Abang dibukakanlah jalan untuk dilewati oleh raja
dari Peretiwi dengan terlebih dahulu
harus menyusuri dua ratus lima puluh petak istana Sao Kuta untuk sampai ke bilik peristirahatan saudaranya.
Setelah tiba di ruang peristirahatan Patotoqe, dengan penuh rasa haru dan suka cita Guru Riselleq berdiri termenung lalu memandang kesekeliling ruang
dan menyaksikan sepupu sekali dan kemanakannya duduk berhimpitan. Bagaikan
halilintar suara terdiakan Sinrang Mpatara beserta rombongan memekakkan
telinga, di bagian utara dilihatnya peterana istana yang diduduki To Palanroe, bagaikan orang yang
menikmati madu rasa hatinya penguasa Lapiq
Tana memandang saudaranya. Saling bertegur sapa dengan penuh kemesraan di
atas peterana guruh. Sembari menengadah Patotoqe
mempersilakan Guru Riselleq, To
Akkarodda, Sinauq Toja, kaldian duduk
di peterana guruh. Sinauq Toja pun
naik duduk di atas peterana gumawan bertindih paha dengan To Palanroe.
Setelah semuanya duduk ditempat yang telah disediakan, maka berkata To Palanroe bersama istrinya bahwa ada
pun paduka adinda dan seluruh sepupu dipanggil naik ke langit untuk dmintai
pendapatnya perihal keinginan Patotoqe
menempatkan keturunan sebagai penguasa di bumi. Patotoqe juga menyampaikan kepada adiknya bahwa dunia tidak boleh
kosong karena kita bukanlah dewata kalau tak ada orang yang menghuni dunia
menyembah kepada Batara. Setelah kita sepakat kita bersaudara bersama sepupu sekali,
barulah kita sama menempatkan keturunan di bumi. Serentak mereka berkata
seluruh bangsawan tinggi bahwa sekiranya Sang Batara menghendaki demikdian maka
tentulah seluruh keluarga akan merestuinya. Guru
Riselleq mengatakan bahwa bagiku amatlah baik menempatkan di kolong langit
menurunkan anak dewata menjelma. Anak kakandalah seorang yang diturunkan,
sedang keturunan kami mengapa tidak kakanda pertimbangkan nasibnya. Patotoqe lalu bertanya berapa sebenarnya
anak adiknya, dan Guru Riselleq
menjawab bahwa anaknya ada sembilan orang dan semuanya telah dipersiapkan untuk
menduduki tahta kerajaannya masing-masing di dunia bawah (Peretiwi). Setelah menjelaskan perihal anaknya, Guru Riselleq pun balik bertanya pada
kakaknya perihal anak-anaknya, dan Patotoqe
pun menjelaskan bahwa anaknya pun ada sembilan orang yang kesemuanya juga telah
dipersipkan untuk menduduki tahta kerajaannya masing-masing di Boting Langiq.
Patotoqe bermusyawarah dengan alot bersama istrinya perihal siapa gerangan
di antara anaknya yang cocok diturunkan ke bumi menjadi penguasa. Setelah
pembicaraan Patotoqe bersama istrinya
mengalami jalan buntu akibat kesulitan menentukan pilihan, hampir sepetanak
nasi To Palanroe duduk melayangkan
pikiran kdian kemari dengan perasaan yang kalut. Lama berselang barulah Patotoqe menoleh sembari berkata bahwa
bdiarlah kita turunkan Batara Guru
anak sulung kita ke permukaan bumi, wahai adinda Datu Palingeq. Setelah melalui persetujuan bersama maka sampailah
pada putusan terakhir bahwa anak sulungnyalah yang bernama Batara Guru yang pantas diutus turun menjadi penguasa di bumi. Patotoqe lalu berpaling bertanya kepada
adindanya siapa gerangan keturunanmu yang akan dimunculkan atau dinaikkan
menjelma di bumi. Menjawab Sinauq Toja
dan Guru Riselleq bahwa anak
sulungnya yang bernama We Nyiliq Timoq yang akan dinaikkan dari Peretiwi.
Setelah Patotoqe dan Guru Riselleq menentukan anaknya yang
akan dikirim ke bumi, maka disusullah kemudian oleh para sepupu sekalinya
dilangit semua sama menyebutkan keturunannya yang dipersiapkan turun ke dunia.
Demikdian pula sebaliknya para pembesar pendamping di Peretiwi yang dia persiapkan muncul di dunia. Sambil menangis To Palanroe menyuruh La Toge Langiq putra kesayangan-Nya
masuk ke dalam mandi berlangir lalu bersiap-siap turun ke bumi. Ketika Batara Guru mendengar ucapan
Ayahandanya, tak satu pun kata mempu diucapkan kecuali termenung sembari
merenungi nasibnya. Menghadaplah seraya menyembah Sangka Batara dan To Tenrioddang serentak menyampaikan
bahwa ananda disuruh oleh Sri Paduka
untuk keluar sebab matahari sudah tinggi. Tak ubahnya air mengalir air mata
kerinduan Batara Guru kepada
adik-adiknya, semuanya pun ikut menangis adik-adik La Togeq Langi. Setelah selesai mandi dengan langir busa pada
mangkuk guruh besar berkuping dikeringkanlah tubuhnya oleh Talaga Unruq dan
Dettia Tana, kemudian dipasangkan bajunya oleh Welong Mpabareq dengan
dikelilingi oleh pedupaan disertai suara belas kasih.
Setelah selesai berpakadian, berangkatlah Batara Guru yang dipersiapkan turun ke bumi ditayangkan
pergelangannya oleh adik-adiknya, dan diapit oleh pembesar dari Abang Lette,
diramaikan suara kasih sayang yang menyayat hati dari Leteng Riuq dan dipandu
Inang pengasuh dari Wawo Unruq di depan. Menjelang keberangkatannya itu, Dettia
Unruq dan Sangdiang Kapang menyuruh Batara Guru menghentikan
air mata rindunya
ke Boting Langiq, mau diapalah katanya kalau memang
demikdian kehendak Sri Paduka
ayahanda. Semogalah merasa kasihan Sri
Paduka di Peretiwi hingga
terbukti ucapannya benar-benar memunculkan anaknya menjelma di dunia. Dialah
yang akan menjadi permaisuri kakanda nanti di bumi, yaitu sepupu sekali kita.
Tanpa berkata sepatah kata pun Batara
Guru kepada adik-adiknya.
Setelah dipakaikan semua pakaian kebesarannya, Patotoqe kemudian menyampaikan kepada putra kesayangannya bahwa
jangan kau menganggap bahwa kehendakmulah La
Togeq yang jadi. Kalau kau melanggar engkau akan hancur disambar petir dan
menyala, akan hilang jiwa datumu
(raja). Engkau adalah manusia
sedangkan aku adalah Dewata. Semakin
bertambah kesedihan hati Batara Guru
mendengar ucapan yang memperanakkannya
Setelah berseruh Patotoqe,
maka bangkitlah La Patigana mengangkat bambu betung tempatnya berbaring Batara
Guru. Setelah memerintah Sangka Batara maka dicabutlah palang guntur
penutup pintu batara dari petir lalu langit dibelah dua. Dibuka lebar pulalah
tuju lapis batara yang diiringi oleh gelap gulita dan gejolak alam yang maha
dahsyat. Bersamaan dengan itu diturunkan pulalah ayunan kemilau yang dimuati
bambu betung tempat berbaringnya Batara
Guru yang diusung oleh guntur dan diiringi oleh angin kencang. Beriringan
semua berangkat seraya mengelu-elukan tuan penghambaan mereka. Baru setengah
langit turunnya ayunan tali berpalinglah Manurungnge
menyingkap baju biru langitnya. Saat itu dia menengadah ke atas dilihatnya
samar-samar Boting Langiq, menunduk
lagi ke Peretiwi dilihatnya pula
samar-samar. Semakin terasalah kesedihan hati Manurungnge hampir saja terhenti tarikan nafasnya mengingat keadaan
di Boting Langiq, diingatnyalah semua
saudaranya. Dalam hati Manurungnge berkata, tenggelam dan kehilangan rupanya aku
pembelai semangat. Entahlah apakah nanti aku tenggelam dan padam nyala jiwaku
tak disaksikan oleh kedua orang tua serta saudara-saudaraku. Menunduklah Manurungnge sambil menghambur taletting mperreq, itulah yang turun
menjalin wilayah, dan menggumpal gunung,
kemudian membentuk perbukitan,
sertra meluaskan lembah, melebarkan laut, menoreh binanga,
mengatur gelombang laut, maka melebar pulalah tanah. Dia melempar lagi siri atakka di sebelah kanannya,
telleq araso di sebelah
kirinya, maka rimbunlah hutan. Semakin dekatlah Batara Guru ke dunia, dia melontarkan lagi wempong mani dari Wawo Unruq, itulah yang menjadi ular dan binatang
yang beraneka macam. Dia menebarkan lagi bertih
kilat dari Limpo Bonga, beras berwarna dari Leteng Nriuq, maka ramailah
suara aneka ragam margasatwa yang memperebutkan tempat bertengger di hutan
Tidak mau lagi merapat ayunan petir yang ditempati bambu betung
tempat berbaring Batara Guru,
tiba-tiba guntur menggelegar tujuh kali bagaikan hendak runtuh Boting Langiq seperti kalau akan hancur Peretiwi. Saat itulah ayunan petir Manurungnge mendarat di bumi.
Diturunkanlah bambu betung tempat Batara
Guru berbaring, dan selanjutnya dinaikkan kembali ayunan petir ke Boting Langiq, kembali pulalah semua
anak dewata yang mengantarnya. Setelah tiba di Sao Kuta Pareppaqe, menangislah semua anak Patotoqe setelah melihat ayunan petir Manurungnge yang sudah kosong. Berseru seraya menepuk dada Talaga
Unruq dan Welong Mpabareq, mengapa Sri
Paduka tidak menurunkan daku ke dunia supaya aku sehidup semati anak Dewata kesayanganku. Tidak menyahut
sepata kata pun To Palanroe,
sementara Datu Palinge hanya duduk
termenung mencucurkan air mata kerinduan kepada anaknya. Gelisah pulalah Sinauq Toja hendak turun kembali ke Toddang Toja, maka mohon dirilah Raja Peretiwi kepada kakaknya. Setelah To Palanroe mengizinkan, maka tidak
terasa olehnya Datu Palinge bahwa
dirinya sudah turun kembali ke Uriq Liu di kerajaan Toddang Toja.
Sudah tujuh hari tujuh malam Batara
Guru berada di bumi dalam keadaan yang amat menyedihkan, tak pernah ada
yang lewat di kerongkongannya. Ketika malam menjelang dini hari berpalinglah Manurungnge sambil menendang kain biru
bertatahkan bulan, sehingga terbelah bambu betung tempatnya berbaring. Ketika
fajar menyingsing di pagi hari, terbangunlah Manurungnge, matahari pun perlahan bergerak naik bangkitlah dia
lalu pergi berjalan-jalan ke hutan di pinggir sungai. Ketika melihat air dia
kemudian turun lalu minum. Ketika Batara
Guru hendak naik dan ingin kembali ke bambu betung tempat tidurnya,
terlihat olehnya Penguasa telaga
(semacam buaya) berpakadian warna kuning. Dengan menengadah Penguasa
telaga mempersilakan Manurungnge naik ke atas punggungnya. Dia menyampaikan
bahwa akan kuturunkan engkau ke Uriq Liu
agar engkau bertemu dengan sepupu sekalimu. Manurungnge
pun naik di punggung Penguasa telaga, hanya sekejap saja sampailah dia di Uriq Liu dan berjalan-jalan di Toddang Toja. Kebetulan sekali dia
menemui sedang berkumpul anak raja di Peretiwi
yang sedang menyabung ayam andalannya masing-masing. Batara Guru yang dijadikan tunas di bumi berdiri termenung
menyaksikan para penyabung silih berganti tampil di gelanggang keemasan. Sambil
berdiri memandang di dekat pagar berkata dalam hati Batara Guru, kecil-kecil rupanya orang di sini, dan semua pada
keriting rambutnya
Saat itulah di malam gelap gulita, Batara Guru sujud menyembah ke Boting Langiq seraya berkata bahwa dirinya tiada
membantah kepada Dewata. Dan apa gunanya dia tinggal di dunia menderita dirasuk
dingin, dihembus angin, diterpa badai, disinari matahari, sengsara karena
lapar, dan teramat dahaga. Kebetulan sekali Datu
Palingeq terjaga dari tidurnya di Boting
Langiq, terdengarlah olehnya anaknya mengeluh di dunia. Terasa sedih hati Mutdia Unruq, dia kemudian bangkit dengan
hati yang berdebar-debar, lalu berjalan menuju ke balairung terus duduk di
bangku kilat mencucurkan air mata rindunya. Patotoqe
lalu terbangun dan ketika mengetahui keadaan istrinya, dia lalu bergegas pergi
duduk di sampingnya. Dengan menangis berkatalah Palingeqe kepada suaminya bahwa mengapakah tidak kau turunkan daku
ke bumi, agar aku sehidup semati anak sulungku. Sebab pilu benar rasa hatiku
mendengar anakku mengeluh tak berbatas di dunia. Berbalik Sang Dewata Patotoqe menyampaikan kepada permaisuri kesayangannya
bahwa bdiarkanlah dahulu Batara Guru
merasakan penderitaan tinggal di bumi. Nanti kemudian baru kita turunkan
seluruh pusakanya, istana keemasan tempat tinggalnya.
Kita juga turunkan We Lele
Ellung, We Saung Nriuq, Apung Talaga, temannya untuk saling menghibur. Kita
turunkan juga Talaga Unruq, Welong
Mpabareq, Inang pengasuh yang memeliharanya, saudara sepupunya yang anggun,
juga beribu teman sebayanya. Kalau terlalu cepat kita turunkan pusaka
lengkapnya, nanti dia lupa diri dan tidak mau menyembah ke Boting Langiq sehingga membuat dia tenggelam dan pendek umur.
Bdiarkanlah dahulu Datu Palinge kita
turunkan tujuh oro, tujuh buah kampak
untuk dipakai merambah hutan. Bdiarlah dahulu dia hidup dengan jagung dan
gandum. Setelah itu baru kita turunkan warisan lengkapnya dari Boting Langiq
Mendengar perkataan Paduka
suaminya, Mutdia Unruq dengan berat
hati kemudian berkata bahwa yang aku inginkan Patotoq, segeralah engkau berikan pusaka lengkapnya Batara Guru, sebab sangat pilu rasa
hatiku mendengar anakku mengeluh di pusat bumi. Lima belas hari lamanya Manurungnge di bumi sejak itu pulalah
dia menahan lapar dan dahaga. Menjelang dini hari, ketika sangat nyenyak
tidurnya tak dirasakan guntur beriringan petir dan tiga kali menggelegar
halilintar, langit bagaikan runtuh, Peretiwi
seakan-akan pecah dan ketika itulah diturunkan La Oro menjelma
Ketika menjelang pagi terbangunlah Batara Guru di Atawareng dari bambu betung tempat pembaringannya,
kebetulan sekali dia melihat La Oro Kelling masing-masing memegang kampak
keemasan. Bangkitlah segera dia
yang ditempatkan sebagai
tunas di bumi, kemudian sepakat La Oro Kelling pergi membuka kebun.
Hanya sebatang pohon kayu yang ditebang Manurungnge
kemudian pohon itu lalu menimpa pohon kayu lainnya hingga di tepi pantai
dan terang hingga laut sebelah barat.
Setelah itu, kembalilah Manurungnge duduk
di bambu betung tempatnya
berbaring. Kebetulan sekali matahari sangat panas sehingga keringlah semua
perkebunan La Oro Kelling. Tidak lama setelah itu, hari kemudian mendung lalu
hujan rintik-rintik, tiba-tiba Peretiwi
bagaikan hendak runtuh, bumi bagaikan ingin terbang bersamaan itu pulalah api
dewata turun. Hanya tujuh hari tujuh malam bersilah sudah kebun La Oro Kelling,
ketika Batara Guru bangun dari
pembaringannya beriringan La Oro Kelling pergi mengelilingi kebunnya. Memandang
Manurungnge menyampaikan kepada La
Oro bahwa ubi dan keladi, tebu, pardia,
begitu pula pisang telah tumbuh semua.
Sudah tiga bulan ndian Manurungnge
di Kawa dalam keadaan sengsara menahan lapar dan dahaga, tak satu pun makanan
melewati kerongkongannya. Ketika malam telah larut, nyenyak sekali tidur Batara Guru sehingga tak terasa olehnya
petir sabung-menyabung, halilintar dan guntur menggelegar, kilat
silang-menyilang, langit pun mendung. Saat itulah Patotoqe menurunkan istana petir keemasan dari Wawo Unruq, bersama
We Saung Nriuq, We Lele Ellung, Welong Mpabareq, dan saudara sesusuannya.
Diturunkan pula Inang pengasuh yang ratusan serta ribuan pengawal
seangkatannya. Bagaikan diterbangkan oleh guntur negeri di Wawo Unruq, di
Uluwongeng. Semua penduduk diturunkan bersama rumahnya, diturunkan pula
gelanggang kilat Ellung Pareppaq tempat Batara
Guru bersantai, pohon asam yang berjejer, dan semua pusaka lengkapnya diturunkan menjelma di dunia. Bagaikan bunyi
burung nuri kedengaran hiruk-pikuk para pengawal seangkatannya yang puluhan
ribu, bersama Inang pengasuh. Tidak henti-hentinya bunyi guntur, petir dan kilat,
maka sampailah berdiri istana petir keemasan di tengah hutan belantara di Ale Luwuq. Setelah selesai semua
menjelma pusaka lengkap Manurungnge,
barulah padam api dewata yang menyala disertai surutnya badai. Pada waktu fajar
mulai menyingsing esok harinya, bangkitlah Batara
Guru dari bambu betung tempatnya berbaring, terlihatlah olehnya istana
petir keemasan dari Wawo Unruq serta gelanggang kilat halilintar tempatnya
bersantai. Laksana mega beriring istana lengkap pendamping hamba dewata yang
diturunkan
Alangkah senang hati Batara
Guru melihat pusaka lengkapnya telah diturunkan dari Boting Langiq. Ketika itu berangkatlah Manurungnge diiringi oleh La Oro Kelling menuju ke kampung
halamannya di Ale Luwuq. Melihat
kedatangan Batara Guru yang hanya
dikawal oleh La Oro Kelling, maka menangislah sekaldian anak dewata yang datang
dari Boting Langiq menyaksikan putra
dewata asuhannya berjalan tanpa mengendarai usungan guruh, tak dinaungi payung
petir, dan tidak diiringi oleh bangsawan tinggi. Seraya menangis Talaga Unruq
dan Welong Mpabareq memerintahkan agar anak dewata pergi menjemput Sri Paduka
naik ke istana. Belum usai ucapan Welong Mpabareq, maka bergegaslah sekaldian
anak dewata datang menjemput tuannya. Setelah memasuki pekarangan Batara Guru menyusuri tangga, berpegang
pada susuran kemilau. Bagaikan angin dari langit taburan bertih kemilau dari
atas istana. Melihat kedatangan Manurungnge,
maka berserulah Talaga Unruq dan Welong Mpabareq bahwa kasihan jiwa
kebangsawananmu, wahai anakku. Naiklah ke mari ke istanamu, ke tengah-tengah
balairungmu! Setelah dipersilakan, barulah Batara
Guru melangkahi ambang pintu, menyusuri lantai papan badai kemilau. Dan
Talaga Unruq sendiri yang menayangkan lengan anak dewata asuhannya dan diapit
oleh saudara sesusuannya
Telah lima purnama Manurungnge
berada di Bumi. Tepat tengah malam benar, dalam mimpi dia kemudian melihat
dirinya naik ke Langit dan singgah mandi di Sungai Limpo Majang
kemudian langsung naik ke Ruallette
negeri dewata di Boting Langiq. Di
bawah pohon asam Tanra Tellu duduklah di gelanggang petir tempatnya bersantai
ketika dia masih berada di Boting Langiq.
Kebetulan para penjaga ayam hadir semuanya, Manurungnge
langsung membuka kurungan ayam lalu menangkap Massalissiqe, dan
mengusap-usap Gonratungnge, kemudian berpalik mengambil Koro yang bersusuh emas
dan Dunrung Leworeng. Bekatalah kemudian Batara
Guru bahwa dia tidak perkenankan disabung Massalissiqe dan Gonratungnge,
begitu pula Gellarengnge. Maka seraya menyembah berkatalah para penjaga ayam di
Ruallette bahwa tidak pernah disabung
ayam kesayangannya sebab Sri Paduka
Patotoqe melarang-Nya karena Dia brmaksud mengirim kepada Tuan di Bumi.
Alangkah senang hati Manurungnge
mendengar ucapan penjaga ayam itu. Batara
Guru lalu pergi berdiri di tengah istana dan kebetulan dia melihat kedua
orang tuanya sedang duduk berdampingan. Gembira sekali Mutdia Unruq seraya memanggil La
Togeq duduklah di atas tikar permadani.
Sembari menyembah Batara Guru
pun duduk di antara orang tuanya. Palingeqe
lalu berpaling melingkarkan lengannya pada leher anak sulungnya seraya
menyirami air mata putra mahkota yang dicintainya. To Palanroe pun menunduk seraya menganyodorkan sirih kepada
putranya lalu berkata bahwa besok datanglah wahai anakku menjemput kirimanmu di
pinggir pantai
Gembira nian Batara Guru
mengira dirinya berada di langit. Ketika dia tersentak dan bangun dari
tidurnya, dia kemudian sadar bahwa dirinya berada di dunia. Dia bangun dan
duduk termenung sambil mencucurkan air mata. Lebih dari sepetanak nasi duduk
termenung barulah kemudian dia menyuruh menyalakan lampu. Manurungnge lalu menyampaikan perihal mimpinya kepada We Saung Riuq, We Lele Ellung, dan Apung Talaga dan juga memberitahukan
mengenai pesan To Palanroe agar dia
ke pantai menjemput kirimannya. Setelah mendengar perkataan Manurungnge, maka serentak mereka
berkata bahwa itulah Tuanku, yang disebut mimpi nyata. Bdiarlah nanti fajar
menyingsing di ufuk timur baru kita pergi ke pinggir pantai.
Malam itu Batara Guru
sudah tidak bisa tertidur lagi. Ketika fajar tiba, serentaklah bangun seluruh penghuni
istana kilat nan keemasan. Memerintahlah We
Lele Ellung agar rakyat berkumpul
dan mengantar usungan keemasan Manurungnge
di bawah naungan payung kebesarannya. Disertai dengan gemuruh bunyi adat
upacara kebesaran, Batara Guru diarak
menuju ke arah pantai bersama riuhnya bunyi gendang petir manurung. Setelah
sampai di sana, diletakkanlah usungan di pinggir pantai. Seusai menoleh ke kiri
dan ke kanan, tak satu pun yang tampak olehnya. Seekor burung atau semut pun
tak terlihat, bahkan angin dari timur pun eggan berhembus. Kemudian berkatalah
di dalam hati Manurungnge, apa
gerangan kehendak To Palanroe karena
jelas sekali tadi malam orang tuaku mengatakan bahwa besok, datanglah ananda ke
pantai menjemput kirimanmu. Tetapi ternyata kini tak ada sesuatu pun yang
tampak. Karena tidak menyaksikan sesuatu apa pun juga, maka inginlah Batara Guru kembali ke Ale Luwuq. Dalam keadaan bimbang
tiba-tiba terlihat oleh La Unga Waru dan La Ulaq Balu sedang bergantungan di
tangkai pohon beropa kelewang emas
pusaka dari Boting Langiq. Juga
tampak olehnya perisai emas dan payung kilat manurung tempat bernaung-Nya To
Palanroe. Batara Guru lalu kembali duduk di pinggir pantai dan ketika dia
menoleh ke ufuk timur seketika lautan terang-benderang. Bagaikan sinar bara
bertebaran laut nan luas itu. Bertanyalah Manurungnge
kepada We Saung Riuq apa
sesungguhnya yang terjadi sehingga sinar membara menerangi samudera.
Belum selesai ucapan Batara
Guru sudah muncul pula We Nyilik
Timoq lengkap dengan usungannya di atas permukaan air di tengah busa air.
Puluhan ribu rombongannya memakai sarung berwarna, berkalungkan cahaya kilat,
berbaju sutra sulaman benang emas. Bagaikan bara menyala payung keemasan yang
menaungi We Nyiliq Timoq terapung-apung di atas permukaan air. Alang senang
hati Manurungnge menyaksikan sepupu
sekalinya. Batara Guru kemudian
menyuruh anak dewata datang menemui Sri
Paduka Tuannya. Belum selesai ucapan Manurungnge
bersamaanlah semua anak datu berenang ke arah ratu pertuanannya, namun setiap
kali mereka mendekat selalu dihempas oleh gelombang kembali ke pantai. Melihat
ketidakmampuan mereka mencapai
usungan, akhirnya Batara Gurulah
yang turun berenang menemui sepupu sekalinya.
Alangkah gembiranya Manurungnge
seraya berpegang pada usungan We Nyiliq
Timoq sambil membawanya ke pantai. Setelah tiba di pantai betapa terpukau
hati Batara Guru menyaksikan
kecantikan sepupunya yang tiada bandingannya.
Manurungnge lalu mengajak paduka adindanya agar berkenang berangkat ke Ale Luwuq. Dia menyampaikan bahwa tiada
duamu wahai paduka adinda yang diturunkan untuknya istana kemilau, menjadi
pemilik negeri di permukaan bumi. We
Nyiliq Timoq tidak menjawab sepata kata pun ucapan sepupu sekalinya. Dengan
menyembah Tenritalunruq dan Apung ri Toja menyampaikan kepada adinda Sri Paduka bahwa ringankanlah dirimu
kita berangkat ke istana. Janganlah kita tinggal di muara dihempas angin
diterpa bayu, disinari matahari, dan dikerumuni mata memandang. Maka
diangkatlah usungan keemasan yang muncul di Busa
Empong dan kemudian disusul oleh usungan
keemasan Manurungnge. Sungguh ramai
upacara kerajaan di Busa Empong yang
bertaut dengan upacara kahiyangan langit Manurungnge
di Ale Lino. Setelah sampai di istana
Ale Luwuq, maka bertaburanlah bertih
kilat dari atas istana sebagai tanda penghormatan atas kedatangan Manurungnge dan We Nyiliq Timoq. Setelah dipersilakan memasuki istana, maka
beranjaklah We Nyiliq Timoq
dipegangkan lengannya oleh Batara Guru,
seraya menyusuri tangga kemilau, melangkahi ambang pntu, menginjak lantai guruh
istana kemudian masuk.
Bagaikan saja orang yang mengenyang madu di dalam hati Batara Guru memandang istrinya. Sudah
tidak mau menjauh lagi Manurungnge
karena asyiknya bercumbu rayu. Tak teringat lagi Boting Langiq bagi Batara
Guru. Sudah tiga bulan lamanya We
Nyiliq Timoq berada di bumi dengan perasaan bahagia. Ketika dia membuka
jendela istana dan memandang turun dilihatnya aneka macam buah-buahan, lalu
diperintahkannya kepada para pengawal istana untuk memetikkan satu demi satu
buah tersebut kemudian dimakannya. Setelah selesai makan buah-buahan dan
diikuti oleh para penghuni istana, maka kembali We Nyiliq Timoq menoleh ke pekarangan istana dan dilihatnya pula
burung-burung sedang asyik meminum air yang sedang bergelembung-gelembung
busanya. Dia lalu memerintahkan lagi kepada pengawal istana supaya mengambilkan
air itu untuk diminum dan diikuti pula oleh sekalian penghuni istana.
Ketika matahari sedang berada di atas kepala mendung tiba-tiba
datang, bumi pun gelap gulita sehingga tak satu pun yang tampak di pelupuk mata.
Alam bagaikan mengamuk yang disertai badai, suara guntur, dan kilatan petir,
maka diusunglah turun Puang Lae-Lae yang tinggal di lereng Gunung Latimojong.
Diturunkan pula I We Salareng dan We Appang Langiq, bissu yang ditetapkan di Leteng Nriuq. Setelah mendarat Puang Matoa
di lereng Gunung Latimojong barulah gejolak alam reda.
Setelah sekian lama perkawinan mereka, Batara Guru merasa sedih, dia lalu berpaling seraya berkata kepada Permaisuri yang amat dicintainya bahwa
ada terasa duka dalam hatiku wahai adindaku. Sudah lama berada di Kawaq, tetapi
belum juga engkau memiliki keturunan. Padahal, aku tak mau diganti oleh
bangsawan campuran, bangsawan murni kunginkan mewarisi kerajaanku. Menjawablah yang
muncul di Busa Empong . Saat itu dia
berkata pada suami sepupunya bahwa engkau lagi wahai Datu Manurung merasa duka dalam hati karena tidak ada keturunanku.
Kakanda yang sudah lebih sepuluh keturunan masih juga bersedih, apalagi saya
betapa merananya hatiku di dalam, karena tak adanya seorang pun keturunanku.
Berpaling dia yang menjelma di bambu betung, mengusap-usap istri sepupu
sekalinya seraya berkata, kasihan engkau We
Datu Tompoq, tetaplah di sini
kahiyanganmu permaisuri di Ale Luwuq.
Walaupun ratusan jumlah keturunanku bukan juga dia yang kuharapkan, wahai
adinda mengganti kedudukanku kelak. Ketika Batara
Guru selesai berdialog dengan istrinya, malam pun telah larut bergandengan
tanganlah mereka memasuki bilik peraduannya di balik gemerlapnya cahaya pelita
dan kandil di bahagdian dalam. Alangkah gembira perasaan Manurungnge dalam mahligai cinta memuaskan hati berdua di dalam
sarung indah nan kemilau, bersuka rdia dengan gaya orang Boting Langiq hingga berdua tertidur nyenyak dalam satu bantal.
Di Boting Langiq, Patotoqe telah mengetahui bahwa pada malam
itulah permaisuri Batara Guru telah
hamil. Berkatalah Patotoqe kepada Datu Palingeq, baiklah wahai Datu Palingeq
kita turunkan untuknya bissu sejati di Ale
Luwuq, agar dialah nanti yang mempersiapkan upacara kahiyangan langitnya.
Sebab telah tinggal darahnya anak menantu kemanakan kita. Sebab We Nyiliq Timoq suami-istri tiada
menentu pikirannya karena belum juga memperoleh keturunan.
Ketika fajar menyingsing keesokan harinya, terbangunlah Manurungnge masih satu sarung dengan
istri, dia pergi mencuci muka di mangkuk putih kemudian menyirih seraya
menenangkan hatinya. Bangkitlah dia keluar bergandengan tangan dengan Sang
Permaisuri. Gemuruh kedengaran lantai keemasan hentakan kaki para bissu orang Boting Langiq yang diturunkan, bersama
isi balairung dari Toddang Toja
yang dimunculkan, langsung duduk di atas peterana keemasan,
berdampingan suami-istri. Sahut menyahut guntur, sabung-menyabung kilat dan
petir. Badai pun menghempas tiada henti diiringi oleh gelap gulita, menyala api
dewata yang diiringi oleh angin ribut. Gemetar badan orang Luwuq dan orang
Wareq. Ketika itulah diturunkan We
Sawammegga di Leteng Riuq. Setelah mendarat semuanya, barulah matahari
kembali bersinar cerah. Batara Guru
semakin tidak tenang perasaannya memikirkan nasib Datu Tompoq yang belum juga memiliki keturunan.
Manurungnge kemudian memerintahkan kepada We
Lele Ellung dan We Saung Riuq
untuk membawa sesembahan di Latimojong. Juga menyuruh mengundang We Sawammegga dari Leteng Riuq, bissu
sejati yang baru saja diturunkan dari Langit. Undang pula Puang ri Luwuq dan
Puang ri Wareq supaya datang semua berkumpul untuk memohon pada dewata agar
saya mendapat putra mahkota. Batara Guru berkata bahwa tiada senang hatiku
sebab belum ada putra mahkota yang dilahirkan oleh Paduka Tuanmu. Utusan itu kemudian pergi dan setelah melaksanakan
tugasnya, maka dia lalu kembali membawa bissu sejati, Puang ri Luwuq dan Puang
di Wareq bersama para pengikutnya. Mereka lalu datang bersimpuh seraya
menyembah di hadapan Batara Guru dan
permaisuri We Nyiliq Timoq. Setelah
beristirahat dan berdialog sejenak maka diperintahkanlah We Sawammegga, Puang ri Luwuq, dan Puang di Wareq untuk
mempersiapkan upacara adat untuk memohonkan kepada dewata agar Manurungnge dikarundiai putra mahkota.
Ramailah sudah upacara kebangsawanan We
Nyiliq Timoq, bersahut-sahutan doa keselamatan. Sudah mengepul asap dupanya
Puang Matoa dan ketika fajar menyingsing keesokan harinya, baru saja matahari
terbit seketika sinarnya bagaikan ditutup, sabung-menyabung kilat dan petir,
berkobar-kobar api dewata manurung beriringan
badai dan topan. Berbaringlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong di
atas tikar yang indah. Tujuh hari tujuh malam tidur terus Puang Matoa
menjelajahi Boting Langiq dan Peretiwi memohonkannya di Ruallette, memintakan di Uriq Liu.
Matahari baru saja terbit bangunlah Puang ri Lae-lae yang tinggal di
Latimojong, membasuh muka pada mangkuk putih. Puang Matoa kemudian datang sujud
seraya menyembah di hadapan Batara Guru
dan permaisuri. Bersamaan bertanya Manurungnge
dan istri, bagaimana gerangan tidurnya
Puang Matoa. Menyembah lalu berkata yang bermukim di lereng Latimojong,
hamba ke Senrijawa, hamba turun juga ke Peretiwi.
Hamba memohonkan Tuanku di Boting Langiq
dan di Toddang Toja, memintakan
Tuanku mahkota pada dewata. Rupanya sudah dekat masanya, wahai Tuanku, tiada
haid Sri Paduka We Nyiliq Timoq. Dia
akan melahirkan nanti tunas pengganti lelaki, Opu penyabung pembunuh ayam. Dan dialah wahai Tuanku yang akan
ditudungi payung menaklukkan sekolong
langit
Alangkah senang hati Manurungnge
mendengar ucapan Puang Matoa. Serentak Batara
Guru dan permaisuri berkata, ambillah olehmu bissu datu sebagai hamba
dewata masing-masing seratus orang. Hanya tuju hari saja setelah Datu bissu
datang mengurut perutnya, sudah tiada haid lagi We Nyiliq Timoq. Sudah tak enak perasaannya. We Nyiliq Timoq sudah ingin memakan buah-buahan yang tidak terdapat
di Ale Luwuq. Batara Guru kemudian
memerintahkan para burung untuk mencarikan buah Sri Paduka. Tidak lama setelah
itu, berdatanganlah utuan dengan membawa aneka macam buah-buahan dan makanan
yang diingini We Datu Tompoq.
Berpaling seraya berkata Batara Guru,
bangkitlah ke mari paduka adinda, kau saksikan air sejuk yang melimpah. Maka
bangkitlah We Nyiliq Timoq, gembira
sekali hati Datu Tompoq menyaksikan
air sejuk yang melimpah. Setelah itu, dimandikanlah permaisuri yang muncul di Busa Empong kemudian dipasangkan
pakadiannya oleh We Lele Ellung
Tujuh purnama sesudah upacara selamatan kandungan We Nyiliq Timoq, tepat tengah malam We Datu Tompok dibangunkan oleh rasa
sakit di perut. Maka bangunlah We Nyiliq
Timoq mencucurkan air matanya meruah. Segera pula bangkit Manurungnge seraya meraih kedua belah
lengan istrinya. Batara Guru bertanya
pada We Timoq mengapa dia bangun
tak memberitahu suami, seperti
rasanya orang yang tidak
disayangi. Batara Guru
kemudian memerintahkan We Saung
Riuq, We Lele Ellung, dan Apung Talaga untuk memasang lampu dan
menyalakan lilin. Batara Guru
memberitahukan bahwa sudah gelisah bayi raja sehingga tuanmu terjaga oleh rasa
sakit diperut. Belum selesai ucapan Manurungnge
serentaklah semua bangun penghuni istana menyalakan lampu.
Alangkah sakitnya perut yang muncul di Busa Empong, bangkit pulalah segera Puang Matoa ri Lae-lae memasang
lanrang patola, gelang emas, lailaiseng tempat berpegang Sang Ratu untuk merejan. Manurungnge sendiri memerintahkan
memasang walasuji, bambu emas yang
mengelilinginya, tanah tempat menetesnya darah bayi raja. Dalam keadaan perih We Nyeliq Timoq bangun berpegang pada laillaiseng, bertumpu pada papan
keemasan, bergantung pada lanrang potto namun tak bergeser juga perutnya,
bahkan masuk lebih dalam lagi bayi raja di perutnya. Silih berganti Puang Matoa
berdiri menggoyangkan tongkat keemasan tetapi belum juga bergetar perut We Nyiliq Tmoq. Dalam keadaan was-was
mendekatlah Batara Guru pada istrinya
seraya menyuruh istrinya bangun berpegang pada lanrang patola, bertumpuh pada
papan emas. Manurungnge kemudian memberi semangat dan berkata bahwa tidak ada
duamu wahai adinda, menerima upeti persembahan yang banyak di kolong langit, di
permukaan bumi. Berkata lagi Manurungnge
bahwa lahirlah kemari darah bangsawan, keluarlah engkau I La Tiuleng, agar
engkau dinaungi payung di Ale Luwuq, penguasa tunggal di Watang Mpareq,
memerintah sekolong langit, sepetala bumi.
Tiada bergetar sedikit pun bayi raja, bahkan kembali lagi lebih jauh
ke dalam. Bangkitlah kembali We Nyiliq
Timoq seraya berkeras sambil bersandar pada Inang pengasuh, bertelekan pada
anak bangsawan seasuhannya. Sri Paduka
menggapaikan kedua lengannya pada Inang pengasuh yang memeliharanya seraya
mencucurkan air matanya yang meruah. Apung
Talaga sendiri yang mengusapkan limpahan air mata paduka adiknya. Sembari
menangis berkatalah Apung Talaga,
bahwa kasihan engkau wahai Sri Paduka
adinda. Semoga tetaplah roh kehiyanganmu. Hiduplah terus adikku We Timoq, melahirkan bayi raja. Hanya
engkaulah sendiri wahai Sri Paduka
yang harus berusaha sekuat tenaga. Tak
sepatah kata pun yang keluar dari mulut We
Datu Tompoq. Tak ubahnya air mengalir cucuran air matanya. Sudah tujuh hari
tujuh malam We Nyiliq Timo dicekam
sakit, namun belum juga bergerak isi perutnya. Hilang akal semua dukun kerajaan
menyaksikan bayi raja yang tiada juga mau lahir. Sambil menoleh Manurungnge memerintahkan para penghulu,
agar semua daerah takluk datang berkumpul sambil membawa peralatan perangnya.
Hanya beberapa saat saja, semua pasukan dan panji perang sudah tiba di depan
istana keemasan Manurung. Ketika itu
perang sudah mulai berkecamuk, darah pun mengalir. Lima belas malam lamanya
perang berlangsung korban telah berjatuhan dari semua pihak. Saat itu, tepat
tengah hari benar, tepat matahari berada di atas kepala, tiba-tiba gelap di Ale Lino. Tak saling mengenal lagi orang
banyak. Sabung-menyabung kilat dan petir, silang-menyilang halilintar dan angin
ribut beriringan dengan api dewata. Bersahut-sahutan upacara kerajaan,
tiba-tiba tegak pelangi di bahagian kaki We
Nyiliq Timoq. Kembali perutnya
sakit. Sambil berbaring di pangkuan ibu susu segaharanya dia pun menangis seraya
berkata We Datu Tompo, matilah daku
wahai Inangda. Habis nyawaku Apung ri
Toja. Tak disaksikan oleh Datu Dewata
yang melahirkanku, tak disaksikan oleh Opu
Sang Hiyang orang tuaku. Tidak pula di Toddang
Toja, kampung halaman tempat aku dibesarkan terbujar jazad diriku.
Alangkah sedih hati Batara
Guru mendengar rintihan istri
yang amat dicintainya. Berpalinglah dia memegang lengan istrinya. Menangis
terisak-isak sembari berkata Manurungnge,
kasihan engkau wahai adinda We Timoq,
tetaplah di sini jiwa kehiyanganmu. Semoga panjang umurmu We Datu Tompoq. Harga dirimu didengar To Palanroe. Batara Guru berkata,
lahirlah engkau bayi raja seorang laki-laki agar engkaulah anak yang mengambil
kelewang emas pusaka dari Ruallette.
Janganlah engkau menetap merayu-rayu di dalam perut ibumu. Bangunlah kembali We Nyiliq Timoq berkuat sambil berpegang
pada lanrang potto, menggapai lailaiseng seraya diiringi nazar oleh
para Pembesar dari Abang, namun tidak juga berhasil. Tak keruan rasa hatinya
Puang ri Lae-lae yang tinggal di Latimojong, duduk termenung Puang ri Luwuq dan
Puang ri Wareq. Berdiri bulu roma para dukun kerajaan sebab tak kunjung
lahirnya bayi raja.
Sudah lima belas hari We Timoq
dalam keadaan sakit perut, sedih sekali hati Manurungnge melihat istri yang amat dicintainya. Menangis Batara Guru sambil memberi semangat
pujian dia pun menyuruh istrinya mengejang. Batara
Guru sendiri berdiri mengangkat
istrinya, memangku sepupu sekalinya seraya menyandarkan ke dadanya yang lapang.
Bagaikan putus tarikan nafas We Timoq
berupaya mengajang, tetapi isi perutnya tidak juga bergerak.
Tepat tengah hari benar, gelap tiba-tiba datang menyergap, kilat dan
petir sambung-menyambung. Tidak saling mengenal lagi orang banyak, bingung pula
semua dukun kerajaan. Tiba-tiba tegak pelangi tujuh macam, dekat pada We Nyiliq Timoq, tiba-tiba meluncurlah
bayi raja itu ke atas tikar permadani, ditadah dukun, ditimang oleh Puang
Matoa. Menoleh seraya berseru
dukun raja bahwa pukullah gendang
dengan irama perang sebagai pertanda bahwa Raja Penyabung yang berani, penakluk
sekolong langit telah menjelma di istana Sao
Denra manurung. Belum selesai
ucapan dukun raja maka ditabuhlah gendang bersama seluruh tetabuhan dan senjata
lainnya. Bagaiakan hendak terbang istana keemasan manurung diramaikan oleh upacara kedewaan. Alangkah gembiranya Batara Guru bersama istri yang amat
dicintainya menyaksikan anaknya yang telah menjelma di Ale Luwuq dalam keadaan selamat.
Setelah anaknya mulai merangkak maka diperintahkanlah para Matoa,
bangsawan tinggi, dan pengawal istana untuk mengundang seluruh sanak keluarga
sesamanya bangsawan untuk hadir di kerajaan Ale
Luwuq dalam rangka menghadiri upacara adat sesembahan dan pemberian nama
kepada anak raja yang baru lahir. Ratusan kerbau cemara dipotong sebagai tumbal
sesembahan kepada Dewata Patotoqe dan
permaisuri di Boting Langiq dan
kepada Dewata Guru Riselleq dan
permaisuri di Peretiwi. Setelah
sesembahan kepada Dewata Patotoqe dan
Guru Riselleq selesai diterima oleh
utusan yang dikirim ke bumi, maka diberi pulalah nama anak raja yang baru
lahir. Batara Guru dan We Nyiliq Timoq kemudian menamai anaknya
Batara Lattuq, dan dia pulalah
sebagai pewaris satu-satunya kerajaan Ale
Luwuq dan berbagai benda pusaka manurung
lainnya.
Demikianlah, kisah manusia pertama dalam episode “Saat Diturunkannya Batara Guru.” Dan
dinaikkannya We Nyiliq Timoq dari
Dunia Bawah (Peretiwi) sebagai suami
istri dan penguasa tunggal jagat raya.
Mengenai
cerita Galigo umumnya dan episode “Mula Ulona Batara Guru” pada khususnya,
masyarakat Bugis pada masanya menganggap sebagai mitos yakni sebuah cerita suci mengenai leluhur mereka. Dan naskah
yang merekam berbagai episode cerita berbingkai itu, dihargai sebagai sebuah kitab suci yang dalam banyak hal
diyakini mampu menolong mereka dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup.
Sebagai contoh, ada episode tertentu dalam cerita Galigo ini yang dianggap memiliki fungsi sebagai “kitab suci“ yang dijadikan panduan dalam
berhubungan dengan Tuhan Maha Pencipta.
Berikut
temuan keseragaman historiografi tradisional dalam naskah tersebut diatas:
A.
Genealogi
yang merupakan permulaan dari semua penulisan sejarah
Genealogi dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu
nenek moyang pertama, keturunan terakhir, dan rentetan orang-orang antara 1 dan
2. Dalam cerita epos diatas termasuk bagian dari yang pertama yakni mengenai
cerita suci tentang leluhur mereka yang pertama yang mengisahkan riwayat batara
guru yang dikirim dari langit menjadi manusia Bugis pertama yang mendiami bumi,
Batara guru yang merupakan putra Patotoqe
(sang penentu nasib) yang menjadi cikal bakal raja-raja Bugispada umumnya.
B.
Asal-usul
Rajakula yang mithis-legendaris yang merupakan bagian terpenting
Seperti yang disebutkan diatas mengenai dinasti
Batara Guru manurunge (turun dari langit)
kemudian menjadi cikal bakal raja-raja Bugis
atau berusaha dihubung-hubungkan dengan Batara Guru utamanya di Luwu, Bone, Soppeng, dan silsilah kerajaan
bugis lainnya. Cerita diatas merupakan episode pertama dari beberapa episode
lainnya namu setiap cerita mampu berdiri sendiri. Dalam cerita di episode
–episode berikutnya di ceritakan mengenai Batara Latu (anak batara guru) yang
mempunyai keturunan yang bernama Sawerigading.
Sawerigading inilah yang kemudian
menjadi tokoh legendaris, sosok sang pengelana lautan sampai ketepi bumi,
bahkan sampai lebih jauh lagi yaitu kenegeri arwah. Bahkan banyak yang meyakini
bahwa sawerigading inilah “nabi”
orang bugis (sosok panutan).
C.
Mitologi
Melayu Polinesia tentang perkawinannya dengan Bidadari.
Dalam epos ini di ceritakan setelah Batara Guru
diturunkan di dunia ia kemudian dipertemukan dengan Nyi Nyili Timo yang muncul
dari Pretiwi (dunia bawah) yang
kemudian menjadi permaisurinya. Munculnya Nyi Nyili Timo ini digambarkan timbul
dari dunia bawah, dia mulai tampak diatas lautan bersemayam diatas panca
persada ditengah-tengah gelombang yang membuih, payung kebesaran menaunginya
membara laksana api dan berbondong-bondong orang mengikutinya dari kerajaan
dunia bawah. Jadi proses kemunculannya sama halnya dengan bidadari dalam cerita
lain meski dengan versi yang berbeda.
D.
Legenda
Pembuangan Anak
Pada cerita diatas di gambarkan bahwa yang di
pertuan dilangit (patotoqe) ayah Batara
Guru memutuskan untuk mencipta dunia
tengah untuk itu dikirimnya batara guru ke dunia bawah (pembuangan anak), batara guru sesampai di dunia mengalami
awal-awalnya mengalami penderitaan, kesepian sebelum diturunkah
kebutuhan-kebutuhannya dan di pertemukan dengan calon istrinya Nyi Nini Timo.
E.
Legenda
Asal Mula Kerajaan
Batara Guru sebagai keturunan langit yang sudah
diatas bumi ini menjadi dinasti pertama Kerajaan Luwu yang dalam sejarah
merupakan kerajaan tertua di Sulawesi-Selatan yang menjadi cikal bakal
kerajaan-kerajaan Bugis Makassar lainnya. Permulaan terciptanya dunia oleh
dewa-dewa dan kemudian menempatkan keturunannya untuk menjadi penguasa di atas bumi yang menjadi asal mula kerajaan
Bugis
F.
Tendensi
Menjunjung Tinggi Rajakulanya.
Seperti yang dikemukakan diatas bahwa Manurunge dalam hal ini batara guru
adalah anak dewa yang keturunannya nantinya menjadi cikal-bakal raja-raja.
Bahkan raja-raja jauh setelah periode La Galigo setiap silsilah selalu berusaha
dihubung-hubungkan dengan manurunge untuk mencitrakan bahwa raja-raja tersebut
masih keturunan dewa agar lebih kharismatik dimata rakyatnya.
Fungsi Historiografi Tradisional pada konsepsi To Manurung
A.
Fungsi
Sosial- Psikologis
Pola kekuasaan dan kepemimpinan
kerajaan-kerajaan Bugis-makassar menempatkan To Manurung menciptakan suatu lapisan aristocrat untuk menjadi
pemimpin dalam kekuasaan politik.
seperti di Bone, konsepsi kepemimpinan To Manurung telah di berlakukan secara intensif sehingga tercipta suatu pelapisan masyarakat anakarung yang sepenuhnya adalah titiran
To Manurung. Lapisan inilah menjadi
pemegang kekuasaan sampai daerah-daerah kecil di seluruh kerajaan.
B.
Fungsi
Edukatif
Cerita- cerita tentang To Manurung mencerminkan terjadinya bentuk kekuasaan dari bentuk
kekuasaan suatu kaum yang dipimpin oleh matoa ke bentuk kekuasaan yang lebih
tinggi yang di pusatkan pada satu orang yaitu To Manurung tidak melalui
penaklukan atau paksaan fisik dan penindasan suatu golongan atau kelas
masyarakat. Antara raja (to manurung) dengan Matoa (pimpinan suatu kaum) di
ucap perjanjian atau sumpah tentang apa yang boleh dilakukan raja dan rakyat.
Perjanjian itu harus di ingat oleh raja dan rakyatnya karena menyangkut hak-hak
dan kewajiban masing-masing pihak dalam kehidupan ketatanegaraan. Konsepsi
kekuasaan to manurung digambarkan sebagai kedatangan “juru selamat” untuk
menyusun suatu tata kehidupan yang menjamin kesejahteraan bagi rakyat. To Manurung dating untuk menuntun bagimana
kebebasan, kemerdekaan pribadi dan kelompok-kelompok kaum itu dapat berguna
untuk kesejahteraan bersama.
C.
Fungsi
Magis
To
Manurung dilukiskan sebagai manusia
yang luarbiasa yang tiba-tiba muncul di muka bumi tanpa diketahui asal
kedatangannya. Cara kedatangannya di gambarkan dalam lontara-lontara sebagai
sesuatu yang luar biasa . sesudah itu disusunlah silsilah yang mempertalikannya
dengan masa silam yang jauh yaitu La Galigo (mencari pertautan dengan Epos La
Galigo) untuk memperoleh penerimaan model kepemimpinan yang kharismatik dimata
rakyat. Setiap Tomanurung di
gambarkan sebagai sosok yang mempunyai kesaktian. Batara Guru sendiri sebagai to manurung pertama yang turun di dunia
tengah yang kosong atas kesepakatan dewa kemudian membentuk gunung, sungai,
danau dan hutan. Bahkan kuburan anaknya kemudian menjelma menjadi tanaman padi,
jagung dan lain-lain. Dia juga mempunyai kemampuan meredakan angin rebut dan
halilintar serta menghidupkan kembali orang mati.
D.
Fungsi
sebagai pusaka
Galigo adalah sesuatu yang dikeramatkan dan di
sucikan oleh masyarakat utamanya episode pertama yaitu turunnya Batara Guru.
Banyak yang meyakini bahwa kitab ini mampu menolong mereka dalam mengatasi
kesulitan hidup seperti masyarakat bugis tradisional (pra Islam) dan sisa-sisa
penganut kepercayaan ini masih bisa dijumpai pada masyarakat To Lotang di
kabupaten Sidrap. Ada beberapa episode yang di yakini dapat menyembuhkan
penyakit cacar dengan mengusapkan naskahnya.
Sejarah Epos La Galigo
Menurut Mattulada (1985;402),
Epos La Galigo ditulis pada sekitar abad ke 7 – 10 M atau sejaman dengan
kerajaan hindu di Indonesia yaitu Sriwijaya, sedang Ambo Enre mengatakan Epos
La Galigo itu berlaku sampai sebelum masyarakat Bugis mengenal Islam, yaitu
sekitar abad ke 7 sampai 14 masehi inilah kemudian disebut periode Galigo.
Dalam periode ini, sikap manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang terletak di
luar dirinya. Segala sesuatu di pertautkan dengan kekuatan gaib sebagai sumber
segala kekuasaan dan kepemimpinan.
Manuskrip La Galigo sendiri pada umumnya mengandung
tiga hal yaitu keagamaan (kitab suci), tradisi, kesenian. Sebagai kepercayaan
itu dianut sebagai agama. Kekuasaan dalam kelompok diserahkan pada orang-orang
yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang diperoleh dengan jalan penitisan
dewa-dewa. Mereka percaya bahwa segala kekuasaan itu berasal dari kerajaan dewa
di Bottinglangi.
Daftar Pustaka
Kern, R.A. 1993. I La Galigo; terjemahan Laside dan Sagimun M.D. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Herlina, Nina.2009. Historiografi Indonesia dan Permasalahannya. 2009. Bandung; Satya
Historika.
Mattulada. 1985. Latoa; suatu lukisan analitis terhadap antropologi politik orang Bugis.
Yogyakarta; Gadjah Mada University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar